Kamis, 02 Januari 2014

ulumul Qur'an 5



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Surat Ar-Ra’d ayat 11

لَهُۥمُعَقِّبَٰتٌمِّنۢبَيْنِيَدَيْهِوَمِنْخَلْفِهِۦيَحْفَظُونَهُۥمِنْأَمْرِٱللَّهِإِنَّٱللَّهَلَايُغَيِّرُمَابِقَوْمٍحَتَّىٰيُغَيِّرُوا۟مَابِأَنفُسِهِمْوَإِذَآأَرَادَٱللَّهُبِقَوْمٍسُوٓءًافَلَامَرَدَّلَهُۥوَمَالَهُممِّندُونِهِۦمِنوَالٍ
Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Tafsir mufradat :
لَهُۥمُعَقِّبَٰتٌ : Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran
يَحْفَظُونَهُۥ : Mereka menjaganya
لَايُغَيِّرُ : tidak akan mengubah
قَوْمٍ    : suatu kaum
سُوٓءًا : keburukan
فَلَامَرَدَّ : maka tak ada yang dapat menolaknya
Tafsir ayat :
Tafsir ayat: al-Mu’aqqibatadalah bentuk dari jama’ al-Mu’aqqibah, kata tersebut terambil dari kata ‘aqib yaitu tumit. kata tersebut dapat dipahami dalam arti mengikuti seakan-akan yang mengikuti itu meletakkan tumitnya ditempat tumit yang diikutinya. Kata yang digunakan disini juga mengandung makna penekananan. Yang dimaksud adalah ,malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah mengikuti setiap orang secara sungguh-sungguh.
Kata yahfazhunahu/memelihara dapat dipahami dalam arti mengawasi manusia dalam setiap gerak langkahnya, baik ketika dia bersembunyi maupun saat persembunyiannya. Kata bi amr Allah dipahami oleh banyak ulama dalam arti atas perintah Allah. Thabathaba’i memahaminya dalam arti lebih luas. Ulama ini terlebih dahulu menggarisbawahi bahwa manusia bukan sekedar jasmani, tetapi dia adalah makhluk ruhani dan jasmani yang terpokok dalam segala persoalannya adalah sisi dalamnya yang memuat perasaan dan kehendaknya. Inilah yang terarah kepadanya perintah dan larangan, dan atas dasarnya sanksi dan ganjaran dijatuhkan, demikian juga kenyamanan dan kepdihan serta kebahagiaan dan kesengsaraan. Dari sanalah lahir amal baik atau buruk dan kepadanya ditujukan sifat iman dan kufur, walaupun harus diakui bahwa badan adalah alat yang digunakannya untuk meraih tujuan dan maksud-maksudnya.
sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” dalam arti bahwa Allah menjadikan para Mu’aqibat itu melakukan apa yang ditugaskan kepadanya yaitu memelihara manusia, sebagaimana Allah telah menetapkan bahwa Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka, yakni kondisi kejiwaan/sisi dalam mereka, seperti mengubah kesyukuran menjadi kekufuran, ketaatan menjadi kedurhakaan, iman menjadi penyekutuan Allah, dan ketika itu Allah akan mengubah nikmat  menjadi niqmat (bencana), hidayah menjadi kesesatan, kebahagiaan menjadi kesengsaraan, dan seterusnya.
Dari kata qaum yang berarti masyarakat, bahwa suatu perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seseorang manusia saja. Juga menunjukkan bahwa kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras dan agama tertentu tetapi ia berlaku umum kapan dan dimanapun ia berada. Dan kaitan pembahasan kaum ini berkaitan dengan kehidupan duniawi bukan ukhrawi. Ma bi anfusihim apa yang terdapat dalam diri mereka, dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka.
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya” Yakni tidak ada kekuatan pun yang dapat menghalangi berlakunya ketentuan sunnatullah itu. penggalan ini menguatkan sekali hakikat yang berulang-ulang ditegaskan oleh Al-Qur’an bahwa segala sesuatu kembali kepada pengaturan Allah dan kehendak-Nya.
Ayat di atas juga menerangkan bahwa disamping meletakkan tanggung jawab yang besar terhadap manusia karena darinya dipahami bahwa kehendak Allah atas manusia yang telah Dia tetapkan melalui sunnah-sunnah Nya berkaitan erat dengan kehendak dan sikap manusia. Ayat ini menegaskan yang dilakukan Allah atas manusia tidak akan terjadi sebelum manusia terlebih dahulu melangkah. Demikian sikap dan kehendak manusia menjadi “syarat” yang mendahului perbuatan Allah SWT. Sungguh ini merupakan penghormatan yang luar biasa.[1]
Selanjutnya tafsir ayat diatas pada kitab tafsir Al-Aisar, “bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran dimuka dan dibelakngnya, mereka menjaganya atas perintah Allah..” dhamir nya kembali pada Allah Ta’ala maka maksudnya adalah diantara yang mengikuti adalah malaikat penjaga dan penulis kebaikan dan keburukan maka makna “atas perintah Allah” adalah atas perintah Allah dan izin-Nya. Pendapat tersebut dipegang oleh Jumhur mufassirin.
sesungguhnya Allah tidak  merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..” Allah Ta’ala mengabarkan tentang salah satu diantara sunnah-sunnah-Nya yang terjadi pada makhluk, yaitu sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menghilangkan nikmat yang telah Allah berikan kepada suatu kaum berupa keselamatan, keamanan dan kesejahteraan sebab keimanan dan amal baik mereka sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri berupa kemurnian, dan kesucian akibat melakukan dosa-dosa yang bergelimang dengan kemaksiatan sebagai hasil dari berpalingnya mereka dari kitab Allah, melalaikan syari’at-Nya, membatalkan hukum-hukum, tenggelam dalam nafsu syahwat dan juga menempuh jalan kesesatan. “dan apabila Allah menghendaki keburukan suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali ada pelindung bagi mereka selain Dia.” Bahwa jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, seseorang atau kelompok tertentu yang dapat memperburuk keadaan mereka berupa cobaan atau siksaan maka tidak ada yang dapat menolaknya dalam kondisi apapun bahkan itu semua harus mereka rasakan. Dan juga mereka tidak mendapatkan pelindung yang dapat mencegahnya azab dari  mereka selain Allah, tetapi jika mereka kembali kepada-Nya, meminta ampun dan bertaubat maka niscaya akan dihilangkan dari mereka keburukan dan dipalingkan azab dari mereka.[2]
Mengenai asbabun nuzul dari ayat diatas, penulis belum menemukannya.
2.      Surat Ar-Rum ayat 22

وَمِنْءَايَٰتِهِۦخَلْقُٱلسَّمَٰوَٰتِوَٱلْأَرْضِوَٱخْتِلَٰفُأَلْسِنَتِكُمْوَأَلْوَٰنِكُمْإِنَّفِىذَٰلِكَلَءَايَٰتٍلِّلْعَٰلِمِي
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
Tafsir Mufradat :
وَمِنْءَايَٰتِهِۦ : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya
ٱلسَّمَٰوَٰتِوَٱلْأَرْضِ : langit dan bumi
أَلْسِنَتِكُمْوَأَلْوَٰنِكُمْ : bahasamu dan warna kulitmu
Tafsir ayat :
Surat Ar-Rum pada ayat 22 di atas penafsirannya masih terhubung dengan ayat sebelumnya yaitu yang menjelaskan tentang bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Allah. Adanya persamaan antara pria dengan langit dan wanita dengan bumi. Dari langit turun hujan yang ditampung oleh bumi sehingga lahirlah tumbuhan, demikian juga pasangan suami istri. Dalam ayat 22 disebutkan  bahwa diantara tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah adalah penciptaan langit yang bertingkat-tingkat dan bumi. Semua dengan sistemnya yang sangat teliti, rapi dan serasi. Serta kamu juga dapat mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah melalui pengamatan terhadap perbedaan lidah kamu, seperti perbedaan bahasa, dialek, dan intonasi. Dan juga perbedaan warna kulit kamu, ada yang hitam, kuning, sawo matang dan putih pada hal kamu semua bersumber dari asal-usul yang sama. “Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.
Tanda-tanda kekuasaan Allah dapat diketahui dengan mengamati langit dan bumi atau alam raya ini. Peredaran benda-benda langit diangkasa raya tidak ada yang terjadi tabrakan. Melalui salah satu benda langit yang paling berperan dalam kehidupan makhluk di bumi yaitu matahari lalu kemudian adanya perubahan dari malam ke siang serta perubahannya musim. Dibumipun sekian banyak terdapat tanda-tanda keesaan Allah, disini yang disinggung adalah yang terdapat didalam diri manusia yaitu perbedaan lidah, ini terjadi karena perbedaan tempat tinggal dibumi, demikian juga perbedaan warna kulit, antara lain dipengaruhi oleh matahari, sehingga penekanan pada ayat diatas adalah menunjukkan tentang perbedaan yang membuktikan kekuasaan-Nya. Alsinatikum jama’ dari lisan yang berarti lidah, ia juga digunakan dalam arti bahasa atau suara, dalam penelitian terakhir menunjukkan bahwa tidak seorangpun yang suaranya sama dengan orang lain. Ayat diatas ditutup dengan li al-a’lamin / bagi orang-orang yang mengetahui, yaitu mengetahui dalam pengetahuannya. Perbedaan bahasa, warna kulit, hal ini cukup jelas terlihat dan disadari atau diketahui oleh setiap orang.[3]
Ditafsir Al-Azhar mengenai penjelasan ayat diatas, maka yang diper”kamu” oleh tuhan di ayat 22 ini dengan ucapan “Dia ciptakan untuk kamu” dari dirimu sendiri akan istri-istri ialah seruan kepada seluruh manusia, bahwa manusia itu sebagai manusia, sebagai cucu Adam pada hakikatnya adalah satu. Ayat ini juga memperingatkan akan tanda-tanda kebesaran Allah atau bukti tentang adanya tuhan, ialah untuk menyadarkan manusia bahwa ia mempunyai akal dan fikiran. Akal dan fikiran itulah yang hendaknya dipergunakan.[4]
Dalam penjelasan ayat diatas, penulis belum menemukan asbabun nuzul ayat.
3.      Surat Al-Hujurat ayat 11


يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَءَامَنُوا۟لَايَسْخَرْقَوْمٌمِّنقَوْمٍعَسَىٰٓأَنيَكُونُوا۟خَيْرًامِّنْهُمْوَلَانِسَآءٌمِّننِّسَآءٍعَسَىٰٓأَنيَكُنَّخَيْرًامِّنْهُنَّوَلَاتَلْمِزُوٓأَنفُسَكُمْوَلَاتَنَابَزُوا۟بِٱلْأَلْقَٰبِبِئْسَٱلِٱسْمُٱلْفُسُوقُبَعْدَٱلْإِيمَٰنِوَمَنلَّمْيَتُبْفَأُو۟لَٰٓئِكَهُمُٱلظَّٰلِمُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Tafsir mufradat :
قَوْمٌ : suatu kaum
لَايَسْخَرْ : janganlah mengolok-olok
خَيْرًامِّنْهُمْ : lebih baik dari mereka
وَلَاتَلْمِزُوٓ : Janganlah kamu saling mencela
وَلَاتَنَابَزُوا : janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk
ٱلْفُسُوقُ : yang buruk atau fasik
Tafsir ayat :
Kata yaskhar/memperolok-olokkan yaitu menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan maupun tingkah laku. Kata qaum bisa digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia. Bahasa menggunkannya pertamakali untuk laki-laki saja karena ayat diatas menyebut pula secara khusus wanita dan dipertegas dengan ayat tersebut kata nisa’/perempuan karena ejekan dan “merumpi” lebih banyak terjadi dikalangan perempuan dibandingkan dikalangan laki-laki. Kata talmizu, pada kata ini terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dalam memaknainya. Ibn Asyur memahaminya dalam arti ejekan yang langusung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan, atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Dan termasuk bentuk penganiayaan.
Kata ‘Asa an yakunu khairan minhum/boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari  mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan adanya tolak ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolak ukur manusia secara umum.
Kata tanabazu yakni gelar buruk, larangan ini menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timbal balik.kata al-ism yang dimaksud oleh ayat ini bukan dalam arti nama tetapi sebutan. Dengan demikian ayat diatas bagaikan menyatakan : “seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang  mengandung makna kefasikan setelah ia disifati dengan sifat keimanan.” Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan.
Asbabun nuzul :
Ejekan yang dilakukan oleh kelompok bani Tamim terhadap Bilal, Shuhaib, dan Ammar yang merupakan orang-orang yang tidakpunya. Adalagi yang menyatakan bahwa ia turun berkenaan dengan ejekan yang dilontarkan oleh Tsabit bin Qais, seorang sahabat Nabi yang tuli, Tsabit melangkahi sekian orang untuk dapat duduk didekat Rasul agar dapat mendengar wejangan beliau. Salah seorang menegurnya, tetapi Tsabit marah sambil memakinya dengan menyatakan bahwa dia, yakni sipenegur, adalah anak si Anu( seorang wanita yang pada masa jahiliyah dikenal memiliki aib). Orang yang diejek ini merasa dipermalukan maka turunlah ayat ini.[5]
Didalam tafsiran lainnya, yaitu dalam kitab tafsir Al-Aisar, ayat diatas menjelaskan termasuk faktor-faktor pertikaian dan peperangan adalah seorang mukmin yang mengolok-olok saudaranya dan menghinanya karena keadaannya yang lemah atau bajunya yang jelek atau penghasilannya yang sedikit, maka Allah Ta’ala dalam ayat ini mengharamkan atas setiap muslim untuk tidak mneghina saudaranya yang muslim dan mengejeknya dengan memberi isyarat bahwa orang yang direndahkan, dihina dan diejek pada umumnya lebih baik di mata Allah dari pada orang yang mengejeknya. Dan yang dijadikan standar kebiakan atau keburukan adalah apa yang ada disisi Allah bukan apa yang ada pada manusia. Kemudian Allah juga mengharamkan celaan dan panggilan dengan gelar yang buruk, dalam celaan bentuk apapun karena kalian bagaikan satu tubuh,maka apabila saling mencela saudaranya yang muslim seakan-akan ia mencela dirinya sendiri. Lalu janganlah seorang muslim memanggil saudaranya yang muslim dengan gelar yang tidak disukainya, karena hal itu akan menimbulkan permusuhan dan peperangan.
Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk setelah iman, artinya seburuk-buruknya sifat adalah seorang muslim yang diberi gelar kefasikan setelah ia menjadi orang yang beriman, adil dan sempurna dalam akhlak dan adabnya. Oleh karena itu tidak halal bagi seorang mukmin untuk mengatakan kepada saudaranya, dengan sebutan “hai pelacur..dll” karena seburuk-buruk nama adalah nama kefasikan yang diberikan kepad orang muslim dengan gelar-gelar yang buruk setelah ia menjadi orang yang fasik, dan seburuk-buruknya nama baginya adalah ia menjadi orang fasik setelah keimanannya kepada Allah dan pertemuan dengan-Nya dan beriman kepada Rasul-Nya dan kepada apa yang dibawa olehnya. Dan barang siapa yang tidak bertaubat dari menghina orang-orang Islam dan mencela mereka serta memberikan gelar-gelar yang buruk kepada mereka “maka mereka itulah orang-orang yang zalim” yang akan mendapat murka Allah dan siksa-Nya.[6]
4.      Surat Al-Hujurat ayat 13
يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّاسُإِنَّاخَلَقْنَٰكُممِّنذَكَرٍوَأُنثَىٰوَجَعَلْنَٰكُمْشُعُوبًاوَقَبَآئِلَلِتَعَارَفُوٓا۟إِنَّأَكْرَمَكُمْعِندَٱللَّهِأَتْقَىٰكُمْإِنَّٱللَّهَعَلِيمٌخَبِيرٌ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Tafsir Mufradat :
شُعُوبًا : berbangsa-bangsa
وَقَبَآئِلَ : dan bersuku-suku
لِتَعَارَفُوٓا۟ : agar kamu saling mengenal
Tafsir ayat :
Bahwa warna kulit, ras, bahasa, negara, dan lainnya tidak ada dalam pertimbangan Allah. Disana hanya ada satu timbangan untuk menguji seluruh nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Yaitu, “sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu.” Orang paling mulia yang hakiki adalah orang mulia menurut pandangan Allah. Dialah yang akan menimbang berdasarkan pengetahuan dan berita dengan aneka nilai dan timbangan. “sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha teliti.”

Prinsip dari fondasi masyarakat Islam yaitu masyarakat yang manusiawi dan mendunia, yang senantiasa dibayangkan aktualisasinya dalam suatu warna. Tetapi kemuidian ia memudar sebab tidak menempuh satu-satunya jalan yang mengantarkan ke jalan lurus, yaitu jalan menuju Allah. Juga karena masyarakat itu tidak berdiri dibawah satu-satunya panji yang mempersatukan yaitu panji Allah.[7]
Asbabun nuzul :
Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah satu seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri mereka dengannya merupakan salah seorang bekas budak mereka. Sikap keliru ini dikecam oleh Al-Qur’an dengan menegaskan bahwa kemuliaan disisi Allah bukan karena keturunan atau garis kebangsawanan tetapi karena ketakwaannya.[8]






[1] M. Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume 6” (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 228-237
[2] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar surat : Ar-Ra’d-Al-Hajj sistematis dan mudah dalam pembahasa, jilid 6” (Jakarta Timur : Darussunnah Press, 2009) hlm 41-43
[3] M. Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume 10” (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 189-191
[4] Prof.Dr Hamka “tafsir al-azhar jilid 7”(Singapura : Pustaka Nasional PTE LTD,2007) hlm 5499
[5] M. Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume 12” (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 606-608
[6] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar surat : Saba’-Al-Hujurat sistematis dan mudah dalam pembahasa, jilid 6” (Jakarta Timur : Darussunnah Press, 2009) hlm 914-916
[7] Sayyid Quthb “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an surat Ash-Shaafaat 102-Al-Hujurat jilid 10” (Jakarta : Gema Insani, 2004) hlm 421-423
[8] M. Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume 12” (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 616

ulumul Qur'an 4



                                   REVISI MAKALAH
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ulumul Qur’an III
Dosen Pengampu: Muhammad Chirzin
http://dc503.4shared.com/img/KQhVpUIp/s3/logo-uin-suka-baru-warna_2.jpg

Oleh
 Shihhah Tsaniyah (11530129)
TAFSIR HADITS
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA 2013




BAB I
PENDAHULUAN
kajian ilmiah yang obyektif merupakan dasar ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang benar dan dapat memberikan manfaat bagi para penuntutnya, buahnya menjadi makanan paling lezat bagi santapan pikiran dan perkembangan akal. Oleh karena itu tersedianya saran dan pra-sarana yang memadai bagi seorang pengkaji merupakan suatu nilai khusus bagi kematangan kajiannya.
Kajian ilmu-ilmu syari’at pada umumnya, ilmu tafsir khususnya merupakan aktifitas yang harus memperhatikan sejumlah syarat dan etika, demi  menjernihkan sumber dan memelihara keindahan wahyu dan keagungannya.
Dan dalam kesempatan kali kami akan membahas permasalahan penting mengenai tafsir terutama pelaku tafsir (mufassir) perihal syarat-syarat beserta adab-adabnya yang dipaparkan oleh beberapa ulama tafsir sebagai suatu hal yang patut diperhatikan dan dilaksanakan oleh para mufassir al-Qur’an.
Harapan penulis mengangkat tema ini semoga bisa memberi sumbangan dalam permasalahan tafsir. Terutama yang berkaitan dengan pribadi mufassir dari segala aspek kelayakannya yang perlu diperhatikan demi perkembangan kajian tafsir yang lebih dinamis kearah yang lebih baik. dan tak lepas dari segala kekurangan dan kesederhaan yang ada dalam tulisan ini semoga bisa dikembangkan dalam wilayah kajian yang lebih baik.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir dan Mufassir
Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi teks lainnya; baik itu teks karya sastra maupun teks suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu. Ketika kita membahas tafsir Al-Quran, maka pengertiannya harus merujuk pada pengertian yang sesuai dengan sudut pandang (worldview) Islam. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti (الإيضاح والتبيين) “menjelaskan”. Lafal dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Quran,
وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan: 33). Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya. Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti (الإبانة والكشف) “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup. Adapun secara istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi mengenai tafsir yang saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya.
·         Imam Az-Zarkasy dalam mendefinisikan tafsir dengan :
“Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menerangkan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.”
·         Abu Hayyan Mendefinisikan tafsir dengan :
“Ilmu yang membahas tentang cara pencucapan lafazh-lafazh al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang indepeden maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafazh yang melengkapinya.”[1]
·         Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:
“Ilmu yang membahas maksud Allah ta‘ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”
Demikianlah definisi tafsir yang dikemukakan oleh para ulama. Tafsir adalah aktivitasnya, sedangkan pelakunya disebut sebagai mufassir. Husain bin Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih panjang: 
المفسّر هو من له أهلية تامّة يعرف بها مراد الله تعالى بكلامه المتعبّد بتلاوته, قدر الطاقة, وراض نفسه علي مناهج المفسرين, مع معرفته جملا كثيرة من تفسير كتاب الله, ومارس التفسير عملياً بتعليم أو تأليف.
“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.” [2]
            Sebelum melangkah pada pembahasan syarat-syarat mufassir, pertama hal yang wajib dilakukan adalah, wajib memperhatikan bagi seorang muslim yang ingin menafsirkan Al-Qur’an yaitu mengarahkan dirinya bahwa ia ketika itu sebagai juru bahasa Allah, menjadi saksinya terhadap maksud firman-Nya. Bila ini sudah ditancapkan didalam hatinya, maka niscaya ia akan memiliki rasa takut akan kesaksiannya, akan tetapi jika sebaliknya, maka neraka sebagai ancaman ia di hari kiamat kelak. Beberapa rujukan ketika menafsirkan Al-Qur’an yang pertama yaitu, kalam Allah, dan yang kedua sabda Rasululloh. Yang ketiga adalah perkataan sahabat, keempat perkataan tabi’in yang mempelajari tafsir dari para sahabat. Selanjutnya yang kelima yaitu pengertioan-pengertian syara’ dan bahasa yang dikandung kata-katanya dan sesuai dengan susunannya.[3]

B.     Syarat-syarat Mufassir
Makna dasar kata ini adalah tanda, atau mewajibkan sesuatu, atau syarat,[4] seperti yang telah kita pahami dalah bahsa Indonesia. Sementara dalam kamus bahasa Indonesia, syarat ialah ketentuan yang harus ada, tuntutan terhadap sesuatu yang harus diadakan.[5] Dalam pembahasan Ushul Fiqih mengenai hukum Wadh’I disebutkan bahwa syarat adalah : ma yalzamu’adamuhu ‘adam al-hukm. Menurut Abu Zahrah, syarat adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Artinya, ketika syarat itu tidak ada, maka secara otomatis hukum juga tidak ada.[6]
Manna’ al-Qatthan menjelaskan beberapa syarat yang harus dimiliki seorang mufassir, yaitu:
1.      Akidah yang benar. Akidah mempunyai peranan yang sangat besar terhadap jiwa pemiliknya. Ketika ia mempunyai akidah yang melenceng, tentu saja ia akan menafsirkan al-Qur’an dengan berbagai penyimpangan, yang artinya merusak pemahaman akan al-Qur’an itu sendiri.
2.      Bisa menguasai hawa nafsu. Tidak jarang hawa nafsu menjadi pemicu pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya.
3.      Menafsirkan lebih dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an.
4.      Menafsirkan al-Qur’an dengan Sunnah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah Qur’an dan penjelasnya.
5.      Menafsirkan al-Qur’an dengan pandangan para sahabat jika tidak didapatkan penafsiran dalam al-Qur’an dan Sunnah.
6.      Menafisirkan al-Qur’an dengan pandangan tabi’in.
7.      Mempunyai pengetahuan bahasa Arab.
8.      Memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an, seperti qiraat, ushul al-tafsir, asbab nuzul, nasikh mansukh ayat, dsb.
9.      Pemahaman yang cermat.[7]
Adapun bagi seorang mufassir kontemporer oleh Ahmad Bazawy adh-Dhawy, ia harus menguasai tiga syarat penegetahuan tambahan lainnya selama lima belas di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:
1.      Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap al-Qur’an yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud Universitas Islam.
2.      Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan olitik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu menjawab setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculakn hakikat dan sikpa al-Qur’an terhadap problematika kontemporer.
3.      Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat Islam terhadap hakikat Islam serta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
4.      Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.
Dalam permasalah siapa saja yang boleh menafsirkan al-Qur’an, Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir.[8] Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.
Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,
لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”
2.      Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.
3.      Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.  
4.      Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
5.      Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6.      Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
7.      Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
8.      Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
9.      Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
10.  Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth. 
11.  Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12.  An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
13.  Fikih.
14.  Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
15.  Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
Diantara beberapa macam, syarat mufassir yang telah disebutkan diatas, penulis lebih condong pada yarat-syarat dari rujukan Manna’ Al-Qathan. Tetapi tidak berarti selain itu diabaikan, karena pada dasarnya sebuah ilmu pengetahun munculnya karena adanya perbedaan pendapat dari pemikir yang berbeda pula. Sehingga syarat-syarat mufassir yang dipakai hendaklah dapat memilih dan cocok.           

C.     Adab-adab Mufassir
Dalam kamus al-Munawwir, adab mempunyai arti aturan, tata karma atau kesopanan.[9] Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia adab sendiri mempunyai arti budi pekerti yang halus dan akhlak yang baik.[10]
Adab merupakan salah satu syarat bagi mufassir dalam aspek kepribadian. Yang dimaksud aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar menjadi layak dalam menjelaskan suatu hakikat dari al-Qur’an terhadap orang yang kurang mengetahui. Menurut Manna’ al-Qatthan diantara adab Mufassir adalah sebagai berikut:[11]
1.      Berniat baik dan bertujuan benar, seorang mufassir harus memiliki niat dan tujuan yang baik, karena segala sesuatu itu bergantung pada niat, maka dari itu selayaknya mufassir telah menata niatnya sebelum mulai menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini juga diarahkan supaya mufassir menjauhkan diri dari tujuan-tujuan duniawi yang akan mendatangkan madlorot bagi dirinya sendiri.
2.      Berakhlak baik, diumpamakan seorang mufassir adalah seorang pendidik atau guru yang dipanuti, karena itu sebagai seorang yang dianut, maka orang tersebut harus mempunyai perangai yang baik dan sopan, agar para penganutnya merasa benar telah mempercayai apa yang telah diajarkan oleh guru mereka. Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkah laku yang berlawanan dan terpancar dari pada dua sistem nilai yang berbeda. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung kepada kualiti individu dan masyarakat. individu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-nilai dan tingkah laku yang buruk, akan porak poranda dan kacau balau.
3.      Taat dan beramal, karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalah-asalah agama yang ditetapkannya.
4.      Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalah-maslah agama yang ditetapkannya.
5.      Tawaddhu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6.      Berjiwa mulia, seharusnya seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta tidak mendekati dan meminta-minta kepada penguasa.
7.      Vocal dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim.
8.      Berpenampilan baik sehingga dapat memberikan kesan wibawa yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan.
9.      Tenang dan mantap, mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam berbicara, tepi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap, dan jelas kata demi kata.
10.  Mendahulukan orang yang lenih utama dari pada dirinya, seorang mufassir harus hati-hati menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai, menghargainya dan belajar darinya.
11.  Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik seperti memulakannya dengan menyebut asbab al-nuzul, arti perkataan, menerangkan susunan perkataan, memberi penerangan kepada aspek-aspek balaghah dan I’rab yang mana penentuan makna bergantung kepadanya, menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu, serta membuat kesimpulan dan menentukan hukum.
Sementara itu Imam Suyuthi mengatakan, “ketahuilah bahwa seseorang yang tidak dapat memahami wahyu Allah dan tidak akan terlihat rahasia olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid’ah, kesombongan, dan hawa nafsu, cinta dunia, gemar malakukan dosa, lemah iman, bersandar pada mufassir yang tidak memiliki ilmu atau merujuk pada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat dari pada sebagian yang lain. Inilah makna firman Allah yang terjemahnya:

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku)[569], mereka tidak beriman kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. yang demikian itu adalah Karena mereka mendustakan ayat-ayat kami dan mereka selalu lalai dari padanya.”
Maksud ayat di atas adalah pemahaman mereka mengenai akal yaitu penafsiran akan diambil oleh Allah karena sifat sombong mereka yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang mufassir.
Berdasarkan keterangan Imam Suyuthi di atas, Ahmad Bazawy Adh-Dawhi meringkas sejumlah adab yang harus dimiliki oleh mufassir, yaitu:[12]
Akidah yang lurus, terbebas dari hawa nafsu, niat yang baik, akhlak yang baik, tawaddhu’ dan lemah lembut, zuhud terhadap dunia, taubat dan taat terhadap perkara yang syari’, tidak bersandar pada ahli bid’ah dan kesehatan dalam menafsirkan, dan tidak tunduk pada akalnya, sehingga menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman.
Sekilas salah satu contoh mufassir yang banyak memiliki syarat-syarat dan adab bagi mufassir yaitu, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Ghalib Al-Tabari Al-Amuli yang mempunyai tafsir At-Tabari. Beliau hidup dan tumbuh berkembang pada lingkungan keluarga yang cukup memperhatikan terhadap pendidikan, terutama bidang keagamaan. Kehidupannya juga diiringi dengan kemajuan peradaban Islam dan berkembangnya pemikiran ilmu keIslaman. Berlanjut terus- menerus beliau belajar dan merantau ke Negara lain. Sehingga pada akhirnya Al-Tabari pada paruh abad III H, dan disosoalisasikan kepada muridnya kurang lebih 8 tahun, sekitar 282 -290 H.
Dalam karakteristik penafsirannya, dari aspek bahasa, ilmu gramatika bahasa (nahwu)  dan linguistiknya yang sangat diperhatikan dalam penggunaan bahasa Arabnya, dan pada syair-syair Arab kuno. Metode yang digunakan beliau yaitu tafsir bi al-Ma’sur selain itu dalam ilmu hadis, ia melakukan kritik sanad hadis dengan melakukan ta’dil dan tarjih.
Mengenai adab mufassir At-Tabari, penulis belum menemukan secara luas, tetapi terlihat bagaimana ayah beliau yang mendidiknya sejak kecil, akhlak dan sikap dan juga kampung halamnya yang yang cukup kondusif untuk membangun struktur fundamental awal pendidikan At-Tabari. Disini kewibawaan, keadilan dan kejujurannya seorang ayah telah tertular pada putranya.[13]


BAB III
PENUTUP
            Demikian beberapa penjelasan yang sudah kami bahas dalam tema ini sebagai unsur-unsur yang menambah khazanah keilmuan kita, khususnya dalam bidang tafsir. Hal ini tak lepas dari perhatian para ulama tafsir yang memberikan beberapa catatan penting dalam permasalah penafsiran terutama bagi mufassir itu sendiri dengan melihat beberapa hal yang dibahas pada tema kali ini supaya menjadi perhatian khusus untuk mengetahui banyak hal dalam tata cara dan etika serta syarat mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an yang bertujuan agar terhindar dari kesalahan fatal dalam penafsiran dan untuk menjaga kejernihan dan keindahan al-Qur’an sebagai obyek kajian tafsir.
            Dengan memperhatikan beberapa syarat dan adab mufassir di atas, setidaknya hal itu mampu menghindari kemungkinan buruk dalam menafsirkan sehingga mufassir bisa maksimal dan mampu melaksanakan hal-hal penting yang harus diperhatikan agar tercapai hasil penafsiran yang lebih tepat dengan maksud Allah sebagai Author al-Qur’an dan hasilnya dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan kajian tafsir.
            Dalam suatu hadis Rasul adapula yang memaparkan mengenai ancaman bagi orang yang menafsirkan al-Qur’an tanpa landasan ilmu termasuk ahli neraka :
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka.” (HR At-Tirmidzi)[14]
            Dari hadis ini maka sangatlah penting bagi seorang mufassir mampu memenuhi syarat-syarat yang ada dan kaidah yang berlaku dalam penafsiran. Aturan-aturan yang ada tersebut sebagai tadzkiroh agar tidak terjadi kajian tafsir yang menimbulkan kerancuan dan bertentangan dengan sumber ajaran Islam serta kehendak Allah dan Rasul-Nya.


DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Manna’ al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an Terj. H. Aunur Rafiq Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009.

Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. Diakses dari sumber : http://www.sarjanaku.com/2009/12/studi-tentang-syarat-syarat-mufassir-al.html

Al-Jauhari, al-Shahah fi al-Lughah Juz 1

JS Badudu dan Sutan Moh Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1994),hal.1390

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih cetakan ke-12 Jakarta:Pustaka Firdaus, 2008.

Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan bab fi Ma’rifati Syuruti al-Mufassir wa Adabihi hlm 443-444 diakses dari Maktabah Syamilah

Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Bahasa Arab. Surabaya:Pustaka Progresif, 2002

Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:Pusat Bahasa, 2008),hal.9

Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (terj.) Mudzakkir AS Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009

Ahmad Badhawy, adh-Dhawy, Syurut al-Mufassir wa Adabuhu dalam http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/syarat-dan-adab-mufassir.html diakses pada tanggal 02 April 20013

Maktabah Syamilah, Kitab Sunan at-Tirmidzi Bab Ma Jaa Fi al-Ladzi Yafsiru al-Qur’an, no. hadis 2874



[1] Syaikh Manna’ al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an Terj. H. Aunur Rafiq (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), hlm. 409
Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. 29.
[3] Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin “ DAsar-DAsar penafsiran Al-Qur’an” (Semarang : Dina Utama,  1989) hlm 31-35
[4] Al-Jauhari, al-Shahah fi al-Lughah Juz 1, hal.352
[5] JS Badudu dan Sutan Moh Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1994),hal.1390
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih cetakan ke-12 (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2008),halm.75
[7] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (terj.) Mudzakir AS (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009),halm.463-465
[8] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan bab fi Ma’rifati Syuruti al-Mufassir wa Adabihi hlm 443-444 diakses dari Maktabah Syamilah
[9] Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Bahasa Arab (Surabaya:Pustaka Progresif, 2002),juz 2,hal.911-912
[10] Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:Pusat Bahasa, 2008),hal.9
[11] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (terj.) Mudzakkir AS (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009),hal.465
[12] Ahmad Badhawy, adh-Dhawy, Syurut al-Mufassir wa Adabuhu dalam http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/syarat-dan-adab-mufassir.html diakses pada tanggal 02 April 20013
[13]. Muhammad Yusuf ,MA, Dkk “ Studi Kitab Tafsir MEnyuarakan Teks yang Bisu” ( Yogyakarta : Teras, 2004) hlm 22-25
[14] Maktabah Syamilah, Kitab Sunan at-Tirmidzi Bab Ma Jaa Fi al-Ladzi Yafsiru al-Qur’an, no. hadis 2874