PEMBAHASAN
1. Surat
Ar-Ra’d ayat 11
لَهُۥمُعَقِّبَٰتٌمِّنۢبَيْنِيَدَيْهِوَمِنْخَلْفِهِۦيَحْفَظُونَهُۥمِنْأَمْرِٱللَّهِإِنَّٱللَّهَلَايُغَيِّرُمَابِقَوْمٍحَتَّىٰيُغَيِّرُوا۟مَابِأَنفُسِهِمْوَإِذَآأَرَادَٱللَّهُبِقَوْمٍسُوٓءًافَلَامَرَدَّلَهُۥوَمَالَهُممِّندُونِهِۦمِنوَالٍ
Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya
bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan
terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung
bagi mereka selain Dia.
Tafsir mufradat :
لَهُۥمُعَقِّبَٰتٌ : Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya
bergiliran
يَحْفَظُونَهُۥ : Mereka menjaganya
لَايُغَيِّرُ : tidak akan mengubah
قَوْمٍ :
suatu kaum
سُوٓءًا : keburukan
فَلَامَرَدَّ : maka tak ada yang dapat menolaknya
Tafsir ayat :
Tafsir ayat: al-Mu’aqqibatadalah
bentuk dari jama’ al-Mu’aqqibah, kata tersebut terambil dari kata ‘aqib
yaitu tumit. kata tersebut dapat dipahami dalam arti mengikuti seakan-akan yang
mengikuti itu meletakkan tumitnya ditempat tumit yang diikutinya. Kata yang
digunakan disini juga mengandung makna penekananan. Yang dimaksud adalah
,malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah mengikuti setiap orang secara
sungguh-sungguh.
Kata yahfazhunahu/memelihara
dapat dipahami dalam arti mengawasi manusia dalam setiap gerak langkahnya, baik
ketika dia bersembunyi maupun saat persembunyiannya. Kata bi amr Allah
dipahami oleh banyak ulama dalam arti atas perintah Allah. Thabathaba’i
memahaminya dalam arti lebih luas. Ulama ini terlebih dahulu menggarisbawahi
bahwa manusia bukan sekedar jasmani, tetapi dia adalah makhluk ruhani dan
jasmani yang terpokok dalam segala persoalannya adalah sisi dalamnya yang
memuat perasaan dan kehendaknya. Inilah yang terarah kepadanya perintah dan
larangan, dan atas dasarnya sanksi dan ganjaran dijatuhkan, demikian juga
kenyamanan dan kepdihan serta kebahagiaan dan kesengsaraan. Dari sanalah lahir
amal baik atau buruk dan kepadanya ditujukan sifat iman dan kufur, walaupun
harus diakui bahwa badan adalah alat yang digunakannya untuk meraih tujuan dan
maksud-maksudnya.
“sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada
pada diri mereka” dalam arti bahwa Allah menjadikan para Mu’aqibat
itu melakukan apa yang ditugaskan kepadanya yaitu memelihara manusia,
sebagaimana Allah telah menetapkan bahwa Allah tidak mengubah keadaan suatu
kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka, yakni kondisi
kejiwaan/sisi dalam mereka, seperti mengubah kesyukuran menjadi kekufuran,
ketaatan menjadi kedurhakaan, iman menjadi penyekutuan Allah, dan ketika itu
Allah akan mengubah nikmat menjadi
niqmat (bencana), hidayah menjadi kesesatan, kebahagiaan menjadi kesengsaraan,
dan seterusnya.
Dari kata qaum
yang berarti masyarakat, bahwa suatu perubahan sosial tidak dapat dilakukan
oleh seseorang manusia saja. Juga menunjukkan bahwa kemasyarakatan ini tidak
hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras dan agama tertentu tetapi
ia berlaku umum kapan dan dimanapun ia berada. Dan kaitan pembahasan kaum ini
berkaitan dengan kehidupan duniawi bukan ukhrawi. Ma bi anfusihim apa
yang terdapat dalam diri mereka, dalam hal ini masyarakat yang melakukan
perubahan pada sisi dalam mereka.
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka
tak ada yang dapat menolaknya”
Yakni tidak ada kekuatan pun yang dapat menghalangi berlakunya ketentuan
sunnatullah itu. penggalan ini menguatkan sekali hakikat yang berulang-ulang
ditegaskan oleh Al-Qur’an bahwa segala sesuatu kembali kepada pengaturan Allah
dan kehendak-Nya.
Ayat di atas juga menerangkan bahwa disamping meletakkan tanggung
jawab yang besar terhadap manusia karena darinya dipahami bahwa kehendak Allah
atas manusia yang telah Dia tetapkan melalui sunnah-sunnah Nya berkaitan erat
dengan kehendak dan sikap manusia. Ayat ini menegaskan yang dilakukan Allah
atas manusia tidak akan terjadi sebelum manusia terlebih dahulu melangkah.
Demikian sikap dan kehendak manusia menjadi “syarat” yang mendahului perbuatan
Allah SWT. Sungguh ini merupakan penghormatan yang luar biasa.[1]
Selanjutnya tafsir ayat diatas pada kitab tafsir Al-Aisar, “bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran dimuka dan
dibelakngnya, mereka menjaganya atas perintah Allah..” dhamir nya kembali
pada Allah Ta’ala maka maksudnya adalah diantara yang mengikuti adalah malaikat
penjaga dan penulis kebaikan dan keburukan maka makna “atas perintah Allah”
adalah atas perintah Allah dan izin-Nya. Pendapat tersebut dipegang oleh Jumhur
mufassirin.
“sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri..” Allah Ta’ala mengabarkan tentang salah satu diantara
sunnah-sunnah-Nya yang terjadi pada makhluk, yaitu sesungguhnya Allah Ta’ala
tidak akan menghilangkan nikmat yang telah Allah berikan kepada suatu kaum
berupa keselamatan, keamanan dan kesejahteraan sebab keimanan dan amal baik
mereka sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri berupa
kemurnian, dan kesucian akibat melakukan dosa-dosa yang bergelimang dengan
kemaksiatan sebagai hasil dari berpalingnya mereka dari kitab Allah, melalaikan
syari’at-Nya, membatalkan hukum-hukum, tenggelam dalam nafsu syahwat dan juga
menempuh jalan kesesatan. “dan apabila Allah menghendaki keburukan suatu
kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali ada pelindung bagi
mereka selain Dia.” Bahwa jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum,
seseorang atau kelompok tertentu yang dapat memperburuk keadaan mereka berupa
cobaan atau siksaan maka tidak ada yang dapat menolaknya dalam kondisi apapun
bahkan itu semua harus mereka rasakan. Dan juga mereka tidak mendapatkan
pelindung yang dapat mencegahnya azab dari
mereka selain Allah, tetapi jika mereka kembali kepada-Nya, meminta
ampun dan bertaubat maka niscaya akan dihilangkan dari mereka keburukan dan
dipalingkan azab dari mereka.[2]
Mengenai asbabun nuzul dari ayat diatas, penulis belum
menemukannya.
2.
Surat
Ar-Rum ayat 22
وَمِنْءَايَٰتِهِۦخَلْقُٱلسَّمَٰوَٰتِوَٱلْأَرْضِوَٱخْتِلَٰفُأَلْسِنَتِكُمْوَأَلْوَٰنِكُمْإِنَّفِىذَٰلِكَلَءَايَٰتٍلِّلْعَٰلِمِي
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit
dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
Tafsir
Mufradat :
وَمِنْءَايَٰتِهِۦ : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya
ٱلسَّمَٰوَٰتِوَٱلْأَرْضِ : langit dan bumi
أَلْسِنَتِكُمْوَأَلْوَٰنِكُمْ : bahasamu dan warna kulitmu
Tafsir
ayat :
Surat Ar-Rum pada ayat 22 di atas penafsirannya masih terhubung
dengan ayat sebelumnya yaitu yang menjelaskan tentang bukti-bukti keesaan dan
kekuasaan Allah. Adanya persamaan antara pria dengan langit dan wanita dengan
bumi. Dari langit turun hujan yang ditampung oleh bumi sehingga lahirlah
tumbuhan, demikian juga pasangan suami istri. Dalam ayat 22 disebutkan bahwa diantara tanda-tanda kekuasaan dan
keesaan Allah adalah penciptaan langit yang bertingkat-tingkat dan bumi. Semua
dengan sistemnya yang sangat teliti, rapi dan serasi. Serta kamu juga dapat
mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah melalui pengamatan terhadap perbedaan
lidah kamu, seperti perbedaan bahasa, dialek, dan intonasi. Dan juga perbedaan
warna kulit kamu, ada yang hitam, kuning, sawo matang dan putih pada hal kamu
semua bersumber dari asal-usul yang sama. “Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.
Tanda-tanda kekuasaan Allah dapat diketahui dengan mengamati langit
dan bumi atau alam raya ini. Peredaran benda-benda langit diangkasa raya tidak
ada yang terjadi tabrakan. Melalui salah satu benda langit yang paling berperan
dalam kehidupan makhluk di bumi yaitu matahari lalu kemudian adanya perubahan
dari malam ke siang serta perubahannya musim. Dibumipun sekian banyak terdapat
tanda-tanda keesaan Allah, disini yang disinggung adalah yang terdapat didalam
diri manusia yaitu perbedaan lidah, ini terjadi karena perbedaan tempat tinggal
dibumi, demikian juga perbedaan warna kulit, antara lain dipengaruhi oleh
matahari, sehingga penekanan pada ayat diatas adalah menunjukkan tentang
perbedaan yang membuktikan kekuasaan-Nya. Alsinatikum jama’ dari lisan
yang berarti lidah, ia juga digunakan dalam arti bahasa atau suara, dalam
penelitian terakhir menunjukkan bahwa tidak seorangpun yang suaranya sama
dengan orang lain. Ayat diatas ditutup dengan li al-a’lamin / bagi
orang-orang yang mengetahui, yaitu mengetahui dalam pengetahuannya. Perbedaan
bahasa, warna kulit, hal ini cukup jelas terlihat dan disadari atau diketahui
oleh setiap orang.[3]
Ditafsir Al-Azhar mengenai penjelasan ayat diatas, maka yang
diper”kamu” oleh tuhan di ayat 22 ini dengan ucapan “Dia ciptakan untuk kamu”
dari dirimu sendiri akan istri-istri ialah seruan kepada seluruh manusia, bahwa
manusia itu sebagai manusia, sebagai cucu Adam pada hakikatnya adalah satu.
Ayat ini juga memperingatkan akan tanda-tanda kebesaran Allah atau bukti
tentang adanya tuhan, ialah untuk menyadarkan manusia bahwa ia mempunyai akal
dan fikiran. Akal dan fikiran itulah yang hendaknya dipergunakan.[4]
Dalam penjelasan ayat diatas, penulis belum menemukan asbabun nuzul
ayat.
3.
Surat
Al-Hujurat ayat 11
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَءَامَنُوا۟لَايَسْخَرْقَوْمٌمِّنقَوْمٍعَسَىٰٓأَنيَكُونُوا۟خَيْرًامِّنْهُمْوَلَانِسَآءٌمِّننِّسَآءٍعَسَىٰٓأَنيَكُنَّخَيْرًامِّنْهُنَّوَلَاتَلْمِزُوٓأَنفُسَكُمْوَلَاتَنَابَزُوا۟بِٱلْأَلْقَٰبِبِئْسَٱلِٱسْمُٱلْفُسُوقُبَعْدَٱلْإِيمَٰنِوَمَنلَّمْيَتُبْفَأُو۟لَٰٓئِكَهُمُٱلظَّٰلِمُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok
kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik
dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan
(mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah
kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
(fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.
Tafsir
mufradat :
قَوْمٌ : suatu kaum
لَايَسْخَرْ : janganlah
mengolok-olok
خَيْرًامِّنْهُمْ : lebih baik
dari mereka
وَلَاتَلْمِزُوٓ : Janganlah kamu saling mencela
وَلَاتَنَابَزُوا : janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk
ٱلْفُسُوقُ : yang buruk
atau fasik
Tafsir
ayat :
Kata yaskhar/memperolok-olokkan yaitu menyebut kekurangan
pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan,
perbuatan maupun tingkah laku. Kata qaum bisa digunakan untuk
menunjukkan sekelompok manusia. Bahasa menggunkannya pertamakali untuk laki-laki
saja karena ayat diatas menyebut pula secara khusus wanita dan dipertegas
dengan ayat tersebut kata nisa’/perempuan karena ejekan dan “merumpi”
lebih banyak terjadi dikalangan perempuan dibandingkan dikalangan laki-laki.
Kata talmizu, pada kata ini terjadi perbedaan pendapat diantara para
ulama dalam memaknainya. Ibn Asyur memahaminya dalam arti ejekan yang langusung
dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan, atau
kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Dan termasuk bentuk
penganiayaan.
Kata ‘Asa an yakunu khairan minhum/boleh jadi mereka yang
diolok-olok itu lebih baik dari mereka
yang mengolok-olok, mengisyaratkan adanya tolak ukur kemuliaan yang menjadi
dasar penilaian Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolak ukur manusia secara
umum.
Kata tanabazu yakni gelar buruk, larangan ini menggunakan
bentuk kata yang mengandung makna timbal balik.kata al-ism yang dimaksud oleh
ayat ini bukan dalam arti nama tetapi sebutan. Dengan demikian ayat diatas
bagaikan menyatakan : “seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan
sebutan yang mengandung makna kefasikan
setelah ia disifati dengan sifat keimanan.” Ini karena keimanan bertentangan
dengan kefasikan.
Asbabun
nuzul :
Ejekan yang dilakukan oleh kelompok bani Tamim terhadap Bilal,
Shuhaib, dan Ammar yang merupakan orang-orang yang tidakpunya. Adalagi yang
menyatakan bahwa ia turun berkenaan dengan ejekan yang dilontarkan oleh Tsabit
bin Qais, seorang sahabat Nabi yang tuli, Tsabit melangkahi sekian orang untuk
dapat duduk didekat Rasul agar dapat mendengar wejangan beliau. Salah seorang
menegurnya, tetapi Tsabit marah sambil memakinya dengan menyatakan bahwa dia,
yakni sipenegur, adalah anak si Anu( seorang wanita yang pada masa jahiliyah
dikenal memiliki aib). Orang yang diejek ini merasa dipermalukan maka turunlah
ayat ini.[5]
Didalam tafsiran lainnya, yaitu dalam kitab tafsir Al-Aisar, ayat
diatas menjelaskan termasuk faktor-faktor pertikaian dan peperangan adalah
seorang mukmin yang mengolok-olok saudaranya dan menghinanya karena keadaannya
yang lemah atau bajunya yang jelek atau penghasilannya yang sedikit, maka Allah
Ta’ala dalam ayat ini mengharamkan atas setiap muslim untuk tidak mneghina
saudaranya yang muslim dan mengejeknya dengan memberi isyarat bahwa orang yang
direndahkan, dihina dan diejek pada umumnya lebih baik di mata Allah dari pada
orang yang mengejeknya. Dan yang dijadikan standar kebiakan atau keburukan
adalah apa yang ada disisi Allah bukan apa yang ada pada manusia. Kemudian
Allah juga mengharamkan celaan dan panggilan dengan gelar yang buruk, dalam
celaan bentuk apapun karena kalian bagaikan satu tubuh,maka apabila saling
mencela saudaranya yang muslim seakan-akan ia mencela dirinya sendiri. Lalu
janganlah seorang muslim memanggil saudaranya yang muslim dengan gelar yang
tidak disukainya, karena hal itu akan menimbulkan permusuhan dan peperangan.
Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk setelah iman,
artinya seburuk-buruknya sifat adalah seorang muslim yang diberi gelar kefasikan
setelah ia menjadi orang yang beriman, adil dan sempurna dalam akhlak dan
adabnya. Oleh karena itu tidak halal bagi seorang mukmin untuk mengatakan
kepada saudaranya, dengan sebutan “hai pelacur..dll” karena seburuk-buruk nama
adalah nama kefasikan yang diberikan kepad orang muslim dengan gelar-gelar yang
buruk setelah ia menjadi orang yang fasik, dan seburuk-buruknya nama baginya
adalah ia menjadi orang fasik setelah keimanannya kepada Allah dan pertemuan
dengan-Nya dan beriman kepada Rasul-Nya dan kepada apa yang dibawa olehnya. Dan
barang siapa yang tidak bertaubat dari menghina orang-orang Islam dan mencela
mereka serta memberikan gelar-gelar yang buruk kepada mereka “maka mereka
itulah orang-orang yang zalim” yang akan mendapat murka Allah dan siksa-Nya.[6]
4.
Surat
Al-Hujurat ayat 13
يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّاسُإِنَّاخَلَقْنَٰكُممِّنذَكَرٍوَأُنثَىٰوَجَعَلْنَٰكُمْشُعُوبًاوَقَبَآئِلَلِتَعَارَفُوٓا۟إِنَّأَكْرَمَكُمْعِندَٱللَّهِأَتْقَىٰكُمْإِنَّٱللَّهَعَلِيمٌخَبِيرٌ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahateliti.
Tafsir Mufradat :
شُعُوبًا : berbangsa-bangsa
وَقَبَآئِلَ : dan bersuku-suku
لِتَعَارَفُوٓا۟ : agar kamu saling mengenal
Tafsir ayat :
Bahwa warna kulit, ras, bahasa, negara, dan lainnya tidak ada dalam
pertimbangan Allah. Disana hanya ada satu timbangan untuk menguji seluruh nilai
dan mengetahui keutamaan manusia. Yaitu, “sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara
kamu.” Orang paling mulia yang hakiki adalah orang mulia menurut pandangan
Allah. Dialah yang akan menimbang berdasarkan pengetahuan dan berita dengan
aneka nilai dan timbangan. “sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
teliti.”
Prinsip dari fondasi masyarakat Islam yaitu masyarakat yang
manusiawi dan mendunia, yang senantiasa dibayangkan aktualisasinya dalam suatu
warna. Tetapi kemuidian ia memudar sebab tidak menempuh satu-satunya jalan yang
mengantarkan ke jalan lurus, yaitu jalan menuju Allah. Juga karena masyarakat
itu tidak berdiri dibawah satu-satunya panji yang mempersatukan yaitu panji
Allah.[7]
Asbabun nuzul :
Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada
Bani Bayadhah agar menikahkan salah satu seorang putri mereka dengan Abu Hind,
tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri mereka
dengannya merupakan salah seorang bekas budak mereka. Sikap keliru ini dikecam
oleh Al-Qur’an dengan menegaskan bahwa kemuliaan disisi Allah bukan karena
keturunan atau garis kebangsawanan tetapi karena ketakwaannya.[8]
[1] M.
Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume 6”
(Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 228-237
[2] Syaikh
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar surat : Ar-Ra’d-Al-Hajj
sistematis dan mudah dalam pembahasa, jilid 6” (Jakarta Timur : Darussunnah
Press, 2009) hlm 41-43
[3] M.
Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume
10” (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 189-191
[4] Prof.Dr
Hamka “tafsir al-azhar jilid 7”(Singapura : Pustaka Nasional PTE LTD,2007) hlm
5499
[5] M.
Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume
12” (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 606-608
[6] Syaikh
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar surat : Saba’-Al-Hujurat
sistematis dan mudah dalam pembahasa, jilid 6” (Jakarta Timur : Darussunnah
Press, 2009) hlm 914-916
[7] Sayyid
Quthb “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an surat Ash-Shaafaat
102-Al-Hujurat jilid 10” (Jakarta : Gema Insani, 2004) hlm 421-423
[8] M.
Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume
12” (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 616