Kamis, 02 Januari 2014

corak tafsir Syi'i



BAB I
PENDAHLUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sebagai petunjuk hidup, maka al-Qur’an harus dipahami oleh umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itulah dibutuhkan perangkat yang namanya ilmu tafsir. Ilmu tafsir itulah yang bisa dipakai untuk menguraikan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, mengingat al-Qur’an diturunkan selain dengan gaya bahasa yang sangat tinggi, al-Qur’an juga sebuah kitab suci yang kaya akan makna. Pantas saja jika Abdullah Darraz men-tamsilkan al-Qur’an ibarat permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya.[1]
Hal ini dibuktikan bahwa setiap orang bisa memaknai al-Quran dengan berbeda, sesuai latar belakang sosial dan latar belakang pengetahuannya. Selain itu dalam setiap sudutnya al-Qur’an juga memancarkan Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt adalah untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Bahkan al-Qur’an juga semestinya menjadi petunjuk bagi seluruh manusia, baik ia muslim atau tidak. Selain sebagai petujuk, al-Qur’an juga menjadi penjelas bagi petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil.
Berkedudukan makna yang demikian mendalam, jika hal tersebut dikorelasikan dengan tradisi penafsiran al-Qur’an kontemporer (dalam hal ini hermeneutika, yang selalu menyatukan antara teks dan realitas) maka wajar saja jika hal tersebut terjadi. Karena setiap mufassir selalu membawa latar belakang yang berbeda. Akibatnya, al-Qur’an pun ditafsirkan dengan corak dan ragam yang berbeda-beda pula.
Dengan merujuk pada (Periodisasi Madzhab-madzhab Tafsir karya Dr. Abdul Mustaqim), Keragaman penafsiran al-Qur’an yang berbeda-beda tersebut semakin mendapat tempatnya pada periode pertengahan. Pada periode ini, berbagai cabang keilmuan Islam, juga ideologi yang berkembang di dunia Islam, turut memberi warna dalam tradisi penafsiran al-Qur’an. Sehingga melahirkan beberapa corak penafsiran yang berbeda-beda. Di antaranya tafsir corak fiqih, teologis, sufistik, falsafi, dan ‘ilmi.[2]
Di antara gemuruh corak penafsiran di atas, muncul juga sebuah corak penafsiran yang unik. Unik karena penafsiran ini sama sekali tidak dipengaruhi cabang keilmuan apapun. Namun corak penafsiran ini hanya dipengaruhi oleh salah satu aliran dalam dunia Islam, yaitu aliran Syi’ah. Aliran yang sering kali di identikan sebagai rival utama dunia Sunni ini banyak memberikan kontribusi yang berarti dalam tradisi penafsiran di dunia Islam. Dari kalangan ini, telah bermunculan banyak kitab tafsir.
Dalam makalah ini, akan dikaji banyak hal tentang tafsir Syi’ah. Mulai dari pengertian, latar belakang kemunculan, corak dan metodologi yang dipakai, tokoh-tokoh dan karya-karyanya, kelebihan dan kekurangan, serta sekilas contoh penafsiran ulama Syi’ah terhadap al-Qur’an. Paling tidak, tulisan ini mampu membuka mata dan wawasan kita, bahwa ternyata kalangan Syi’ah pun cukup memberikan apresiasi yang berarti dalam tradisi penafsiran al-Qur’an di dunia Islam, seperti terjadi di kalangan Sunni.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pengertian dan latar belakang munculnya Tafsir Syi’ah?
2.      Tokoh-tokoh dan karya-karya Tafsir Syi’ah?
3.      Bagaimana corak dan metode Tafsir dalam Syi’ah?
4.      Apa saja kelebihan dan kekurangan Tafsir Syi’ah?
BABA II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Syi’ah
Sebelum menjelaskan definisi mengenai tafsir Syiah, perlu kita perhatikan terlebih dahulu dua term, yaitu tafsir dan Syiah. Tafsir menurut menurut Dr. Abdul Mustaqim ialah suatu hasil pemahaman atau penjelasan seorang penafsir, terhadap al-Qur’an yang dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu.[3]
Sedangkan Syi’ah secara bahasa adalah penolong, pengikut. Imam al-Fafairuz ‘Abady mengatakan : “Syi’ah seseorang adaah pengikut dan pendukungnya. Dan kelompok pendukung ini bisa terdiri dari satu orang, dua orang, atau ;ebih, laki-laki maupun perempuan. Pada umumnya nama “syi’ah” dipergunakan bagi setiap dan semua orang yang menjadikan “Ali ra berikut keluarganya sebagai pemimpin secara terus-menerus, sehingga nama Syi’ah itu akhirnya khusus menjadi nama bagi mereka saja. Secara istilah “Syi’ah “ pada mulanya diterapkan bagi kumpulan orang senantiasa berhimpun disekitar seorang  Nabi, Wali atau seorang sahabat pendukung, partai, atau kelompok.[4] Dari sini bisa disimpulkan, bahwa tafsir Syi’ah adalah tafsir al-Qur’an yang muncul dari kalangan Syi’ah dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu, yaitu yang lebih menekankan mengkaji aspek batin al-Qur’an.
B.     Latar Belakang Munculnya Tafsir Syi’ah
Untuk melihat kapan pastinya tafsir Syi’ah muncul di dunia Islam, perlu kiranya diperhatikan faktor yang menyebabkan timbulnya tafsir di kalangan ini. Ignaz Goldziher dalam bukunya menjelaskan dengan bahasanya, kita harus mempertanyakan apa tujuan yang ingin dicapai oleh penganut sekte Syi’ah dengan memasukkan kepentingan sekte keagamaan serta prinsip-prinsip dasar mereka ke dalam penafsiran al-Qur’an?.[5]
Selanjutnya Ignaz Goldziher mengatakan bahwa hal itu disebabkan karena, secara langsung maupun tidak, tokoh-tokoh lain dari golongan ini belum mengupayakan secara sungguh-sungguh dan proporsional untuk menemukan (menetapkan) prinsip-prinsip dasar yang membedakan keyakinan keagamaan dan politik mereka sebagai sebuah ketetapan secara definitif dalam al-Qur’an. Sedangkan wilayah pembahasan (perdebatan) pada saat itu, pada awalnya terbatas pada upaya-upaya penolakan terhadap kepemimpinan golongan Ahlu Sunnah, dengan melakukan rongrongan atas kepemimpinan tersebut serta mencela terhadap berdirinya kekhalifahan di bawah keterkungkungan sejarah dinasti Umaiyah dan dinasti Abbasiyah. Kemudian mereka melontarkan gagasan “kesucian” atas diri sahabat Ali ra serta para imam.[6]
Dari sini maka dapat dikatakan, bahwa sebenarnya upaya penafsiran al-Qur’an sudah dilakukan sejak zaman Ali. Dan momentumnya terjadi pada zaman Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyyah. Pada masa tersebut golongan Syi’ah mendapat tekanan begitu besar dari penguasa waktu itu. Sehingga penafsiran mereka pun lebih banyak pada upaya-upaya apologetik dari kekuasaan dan pengaruh penguasa. Dimana, perseturuan antara golongan Syi’ah dengan pihak penguasa sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh permasalahan teologis dan politik.
Untuk memperkuat argumentasi di atas, Drs. Rosihon Anwar bahkan menyebutkan, bahwa tafsir Syi’ah muncul dengan tujuan memperkuat (melegitimasi) doktrin teologis mereka, terutama doktrin imamah. Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti sebagai berikut :
Pertama, menurut Imam al-Dzahabi, tafsir simbolik (dalam hal ini tafsir Syi’ah) muncul pertama kali di kalangan Syi’ah ketika Syi’ah Isma’illiyah muncul, yakni setelah wafatnya Imam Ja’far Shadiq pada tahun 147 H. Adapun doktrin imamah muncul sebelum Ja’far meninggal. Bahkan, ada yang mengatakan, doktrin imamah muncul semenjak Syi’ah Zaidiyyah, aliran Syi’ah yang muncul terlebih dahulu.
Kedua, menurut para teolog muslim, benih-benih doktrin teologis Syi’ah dimunculkan oleh Abdullah bin Saba.’ Beliau menebar benih-benih ini mendapat inspirasi dari ajaran Kristen dan Yahudi. Di antaranya adalah doktrin imamah. Dan perlu diketahui, Ibnu Saba’ hidup pada masa pemerintahan Utsman dan Ali.
Selanjutnya Drs. Rosihon Anwar menyimpulkan, bahwa tafsir Syi’ah muncul setelah kemunculan doktrin imamah, dan kemunculannya dipicu oleh doktrin ini. Dalam arti tafsir Syi’ah digunakan sebagai alat untuk mencari justifikasi bagi doktrin imamah. Lebih rsingkatnya, tafsir Syi’ah muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Ismailliyah (147 H). Kemunculan tafsir ini terjadi setelah munculnya doktrin imamah yang muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Zaidiyyah. Jika demikian, benar bahwa tafsir Syi’ah muncul sejak zaman pemerintahan Ali, bahkan lebih jauh lagi sejak pemerintahan Utsman. Kemunculannya lebih banyak dipicu oleh kepentingan teologis (atau bahkan politis?) untuk mencari justifikasi doktrin Syi’ah, terutama masalah imamah.[7]
C.     Tokoh-tokoh Tafsir Syi’ah Dan Karya-karyanya
Prof. Dr. Abubakar Aceh mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sebagai ahli tafsir pertama dari kalangan Syi’ah, karena memang beliau diklaim sebagai imam Syi’ah, pewaris utama Rasulullah. Tidak itu saja, beliau juga dianggap sebagai ahli tafsir pertama di dunia Sunni. Selanjutnya, muncul Ubay bin Ka’ab (w. 30 H) dan Abdullah bin Abbas (w. 68 H). Abdullah bin Abbas, yang biasa dipanggil dengan Ibnu Abbas memiliki karya tafsir, yaitu Tafsir Ibnu Abbas. Tafsir ini sering digunakan di dunia Syi’ah. Kedua tokoh ini disebut oleh Imam al-Suyuthi, dalam kitab al-Itqan, sebagai sepuluh ahli tafsir dari sahabat kurun pertama.[8]
Adapun dari kalangan tabi’in, di antaranya Maisam bin Yahya al-Tamanar (w. 60 H), Sa’id bin Zubair (w. 94 H), Abu Saleh Miran (w. akhir abad I H), Thaus al-Yamani (w. 106 H), Imam Muhammad al-Baqir (w. 114 H), Jabir bin Yazid al-Ju’fi (w. 128 H), dan Suda al-Kabir (w. 127 H). Yang terakhir sebenarnya bukan ulama dari kalangan Syi’ah. Tetapi beliau sangat menguasai seluk-beluk tentang Syi’ah.
Selanjutnya, ahli tafsir Syi’ah secara umum, dalam arti bukan hanya dari kalangan Syi’ah (insider) tapi juga dari luar Syi’ah (outsider), di antaranya Abu Hamzah al-Samali (w. 150 H), Abu Junadah al-Saluli (w. pertengahan abad 2 H), Abu Ali al-Hariri (w. pertengahan abad 2 H), Abu Alim bin Faddal (w. akhir abad 2 H), Abu Thalib bin Shalat (w. akhir abad 2 H), Muhammad bin Khalil al-Barqi (w. akhir abad 2 H), Abu Utsman al-Mazani 9w. 248 H), Ahmad bin Asadi (w. 573 H), Al-Fattal al-Syirazi (w. 984 H), Jawad bin Hasan al-Balaghi (w. 1302 H), dan lain-lain.
Ada juga ulama yang menulis tafsir dengan topik-topik tertentu, seperti al-Jazairi (w. 1151 H) dalam bidang hukum, al-Kasai (w. 182 H) tentang ayat-ayat mutasyabihat, Abul Hasan al-Adawi al-Syamsyathi (w. awal abad IV H) menulis tentang gharib al-Qur’an, Muhammad bin Khalid al-Barqi (w. akhir abad 2 H) menulis tentang asbab al-nuzul, Suduq bin Babuwih al-Qummi (w. 381 H) tentang nasikh-mansukh, dan Ibnu al-Mutsanir (w. 206 H) menulis tentang majaz.[9]
Sementara itu, Ignaz Goldziher menganggap Imam al-Jabir al-Ju’fi (w. 128 H/745 M) sebagai ulama yang pertama kali meletakkan dasar-dasar madzhab Syi’ah. Beliau menulis kitab tafsir. Sayang kitab tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali melalui cerita sepotong-sepotong. Selanjutnya, Ignaz Goldziher hanya mampu menyebutkan kitab tafsir Syi’ah sejak abad ketiga hijriyah. Di antaranya, yang paling tua adalah kitab Bayan al-Sa’adat fi Maqam al-Ibadah karya al-Sulthan Muhammad bin Hajar al-Bajakhti. Kitab ini dirampungkan pada tahun 311 H/923 M. Pada abad keempat hijriyah muncul karya tafsir Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi. Sejak saat itulah, menurut Ignaz Goldziher, bermunculan produk-produk tafsir dari kalangan Syi’ah. Salah satunya dalah kitab tafsir yang memiliki pembahasan panjang dan terdiri dari 20 bagian karya ulama besar Syi’ah, Abu Ja’far al-Thusi (w. 460 H/1068 M) [10]
D.    Corak Dan Metode Tafsir Syi’ah
Menurut Rosihon Anwar, secara umum, corak tafsir Syi’ah adalah tafsir simbolik (menekankan pada aspek batin al-Qur’an). Kalangan Syi’ah lebih menekankan penafsirannya pada aspek batin al-Qur’an. Pengklasifikasian al-Qur’an menjadi dua bagian, aspek lahir dan aspek batin, merupakan prinsip terpenting dalam penafsiran Syi’ah, terutama Syi’ah Imamiyah. Bahkan mereka menganggap bahwa aspek batin sebagai aspek yang lebih kaya daripada aspek lahir.
Adapun metode yang dipakai oleh kalangan Syi’ah dalam menafsirkan al-Qur’an, beragam. Setiap aliran dalam Syi’ah berbeda metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an. Tapi secara umum, seperti yang telah dijelaskan oleh Rosihon Anwar, metode yang umum dipakai kalangan Syi’ah, yang banyak memakai pendekatan tafsir esoterisme-sentris, adalah metode takwil. Dan perlu diketahui, dalam Syi’ah ada beberapa macam aliran. Imam al-Dzahabi membaginya ke dalam dua aliran, yaitu Zaidiyah dan Imamiyah. Aliran Imamiyah terdiri dari Imamiyah Itsna ‘Asyariyah dan Imamiyah Isma’iliyah. Kemudian, Imamiyah Isma’iliyah memiliki tujuh sebutan, yaitu Isma’iliyah, Bathiniyah, Qaramithah, Haramiyah, Sab’iyah, Babikiyah atau Khurmiyah, dan Muhmirah.[11] Dan dari setiap aliran tersebut memiliki metode tafsir khasnya masing-masing.
Selanjutnya kami akan membahas metode tafsir al-Qur’an masing-masing aliran di atas. Setidaknya, pembahasan ini bisa menggambarkan metode tafsir yang digunakan kalangan syiah secara umum.
1.      Metode Tafsir Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah
Sudah menjadi tradisi di kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah untuk menyesuaikan ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip ajaran mereka. Misalnya dengan prinsip imamah. Sehingga, mereka akan berusaha menjadikan al-Qur’an sebagai dalil (justifikasi) bagi klaim-klaim mereka. Adapun metode yang mereka pakai adalah metode takwil.
Salah satunya bisa kita lihat dalam kitab tafsir al-Tibyan al-Jami’ li kulli ‘Ulum al-Qur’an karya Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan bin Ali al-Thusi (selanjutnya disebut Syaikh al-Thusi). Di kalangan Syi’ah, kitab ini merupakan kitab al-Thabari-nya kalangan Sunni. Kitab tafsir ini sekaligus merupakan kitab tafsir lengkap pertama yang muncul di kalangan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Contohnya seperti ketika menafsirkan Qs. Al-Maidah : 55
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.
            Al-Thusi menjadikan ayat tersebut sebagai dasar bagi keimaman Ali kw. sesudah Nabi saw. langsung tanpa terputus. Pengertian wali dalam ayat di atas, menurut al-Thusi, adalah ‘yang lebih berhak’ atau ‘yang lebih utama,’ yaitu Ali. Juga, yang dimaksud wa al-ladzina amanu adalah Ali kw. Maka, ayat ini ditujukan kepada Ali kw.[12] .Sama halnya dengan al-Thusi, al-Thabrisi, dalam tafsir Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, menggunakan ayat di atas untuk mengukuhkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Tidak berbeda dengan pendahulunya, al-Thabrisi juga memaksudkan ayat ini kepada Ali kw.
Melihat contoh di atas, tampak bagaimana Syaikh al-Thusi dan al-Thabrisi menggunakan penakwilan untuk menakwilkan kata wali dan wa al-ladzina amanu yang ditujukan kepada Sayyidina Ali kw.
2.      Metode Tafsir Syi’ah Zaidiyah
Kelompok Syi’ah Zaidiyah adalah pengikut Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jika dibandingkan dengan kelompok Syi’ah yang lain, kelompok Syi’ah ini lebih moderat dan lebih dekat dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dari segi pandangan keagamaan, kaum Zaidiyah banyak dipengaruhi oleh Mu’tazilah, karena memang Imam Zaid pernah bertemu dengan Washil bin ‘Atha,’ pendiri aliran Mu’tazilah.[13]
Karena lebih dekat dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka metode penafsirannya pun banyak menggunakan metode tafsir bi al-ma’tsur. Demikian pula, karena banyak dipengaruhi pandangan Mu’tazilah, Syi’ah Zaidiyah juga tidak lepas dari metode tafsir bi al-ra’yi. Bahkan dalam kitab tafsir Fathu al-Qadir, Imam al-Syaukani sampai menyebutkan kitab tafsir al-Qurthubi dan tafsir al-Zamakhsyari sebagai rujukan tafsirnya.[14]
Contohnya adalah ketika Imam al-Syaukani menafsirkan surat Ali Imran ayat 169:
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Q.S. Ali Imran 169)
Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Syaukani mengemukakan, bahwa orang yang mati syahid hidup secara hakiki, bukan secara majazi, dan mereka diberi rizki di sisi Tuhan mereka. Pendapatnya ini, beliau dasarkan kepada pendapat jumhur ulama. Bahkan, berdasarkan hadits Rasulullah saw. beliau mengatakan, bahwa ruh orang yang mati syahid ada dalam rongga perut burung-burung hijau, mereka mendapatkan rizki, dan mereka bersenang-senang.[15]
E.     Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Syi’ah
Ada satu kelebihan yang bisa kita tiru dari metode tafsir yang digunakan kelompok Syi’ah. Dengan menggunakan metode takwil, kelompok Syi’ah lebih  kepada makna batin al-Qur’an. Walaupun harus diperhatikan, bahwa banyak takwil mereka yang cenderung arogan. Hal ini berbeda dengan metode tafsir yang berkembang di dunia Sunni, yang cenderung literal dan skriptualis. Sehingga penafsiran al-Qur’an di dunia Sunni kurang memperhatikan weltanschaung al-Qur’an dan aspek batin (esoteris) al-Qur’an, yang merupakan pesan al-Qur’an yang sebenarnya.
Adapun kekurangan tafsir Syi’ah, seperti yang dibicarakan di atas, penggunaan metode takwil mereka cenderung arogan dan kurang memperhatikan aturan-aturan takwil dalam khazanah ‘Ulum al-Qur’an. Takwil yang mereka pakai hanya didasarkan pada kepentingan mereka mencari justifikasi untuk mendukung pandangan madzhabnya. Akibatnya, makna al-Qur’an sering mereka selewengkan demi kepentingan madzhab mereka. Sehingga, alih-alih mereka mencari makna batin al-Qur’an, malah makna al-Qur’an mereka selewengkan begitu jauh.[16]


BAB III
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pondok Pesantren LSQ Ar-Rahmah, 2012
Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003
Aceh, Abubakar. Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Semarang: CV. Ramadhani, 1980
Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid. Bandung: Pustaka, 1987



[1] . M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 92
[2]. Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 81-87
[3] . Dr. Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pondok Pesantren LSQ Ar-Rahmah, 2012), hlm 3
[4] . Dr. Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid (Bandung: Pustaka, 1987), hlm
[5] . Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: dari Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 315
[6] . Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: dari Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. hlm. 315
[7] . http://ayurahayu2010.wordpress.com/2010/01/22/tafsir-syiah/ diakses pada tanggal 15-november-2013 pukul 13:21

[8] . Prof. Dr. Abubakar Aceh, Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam (Semarang: CV. Ramadhani, 1980), hlm. 155
[9] . Prof. Dr. Abubakar Aceh, Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam . hlm. 156-158
[10] . Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: dari Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. Hlm. 335-336
[11] . http://ayurahayu2010.wordpress.com/2010/01/22/tafsir-syiah/ diakses pada tanggal 15-november-2013 pukul 13:37
[12] . Dr. Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 155-160
[13]. Dr. Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid, hlm. 234
[14]. Dr. Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid, hlm. 240
[15] . Dr. Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid, hlm. 241
[16]. http://ayurahayu2010.wordpress.com/2010/01/22/tafsir-syiah/ diakses pada tanggal 15-november-2013 pukul 13:51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar