BAB I
PENDAHLUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sebagai petunjuk hidup, maka al-Qur’an harus
dipahami oleh umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itulah dibutuhkan
perangkat yang namanya ilmu tafsir. Ilmu tafsir itulah yang bisa dipakai untuk
menguraikan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, mengingat
al-Qur’an diturunkan selain dengan gaya bahasa yang sangat tinggi, al-Qur’an
juga sebuah kitab suci yang kaya akan makna. Pantas saja jika Abdullah Darraz
men-tamsilkan al-Qur’an ibarat permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya.[1]
Hal ini dibuktikan bahwa setiap orang bisa
memaknai al-Quran dengan berbeda, sesuai latar belakang sosial dan latar
belakang pengetahuannya. Selain itu dalam setiap sudutnya al-Qur’an juga
memancarkan Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt adalah untuk menjadi petunjuk
bagi orang-orang yang bertaqwa. Bahkan al-Qur’an juga semestinya menjadi
petunjuk bagi seluruh manusia, baik ia muslim atau tidak. Selain sebagai
petujuk, al-Qur’an juga menjadi penjelas bagi petunjuk dan pembeda antara yang
haq dan yang bathil.
Berkedudukan makna yang demikian mendalam, jika
hal tersebut dikorelasikan dengan tradisi penafsiran al-Qur’an kontemporer
(dalam hal ini hermeneutika, yang selalu menyatukan antara teks dan realitas)
maka wajar saja jika hal tersebut terjadi. Karena setiap mufassir selalu
membawa latar belakang yang berbeda. Akibatnya, al-Qur’an pun ditafsirkan
dengan corak dan ragam yang berbeda-beda pula.
Dengan merujuk pada (Periodisasi Madzhab-madzhab
Tafsir karya Dr. Abdul Mustaqim), Keragaman penafsiran al-Qur’an yang
berbeda-beda tersebut semakin mendapat tempatnya pada periode pertengahan. Pada
periode ini, berbagai cabang keilmuan Islam, juga ideologi yang berkembang di
dunia Islam, turut memberi warna dalam tradisi penafsiran al-Qur’an. Sehingga
melahirkan beberapa corak penafsiran yang berbeda-beda. Di antaranya tafsir
corak fiqih, teologis, sufistik, falsafi, dan ‘ilmi.[2]
Di antara gemuruh corak penafsiran di atas,
muncul juga sebuah corak penafsiran yang unik. Unik karena penafsiran ini sama
sekali tidak dipengaruhi cabang keilmuan apapun. Namun corak penafsiran ini
hanya dipengaruhi oleh salah satu aliran dalam dunia Islam, yaitu aliran
Syi’ah. Aliran yang sering kali di identikan sebagai rival utama dunia Sunni
ini banyak memberikan kontribusi yang berarti dalam tradisi penafsiran di dunia
Islam. Dari kalangan ini, telah bermunculan banyak kitab tafsir.
Dalam makalah ini, akan dikaji banyak hal
tentang tafsir Syi’ah. Mulai dari pengertian, latar belakang kemunculan, corak
dan metodologi yang dipakai, tokoh-tokoh dan karya-karyanya, kelebihan dan
kekurangan, serta sekilas contoh penafsiran ulama Syi’ah terhadap al-Qur’an.
Paling tidak, tulisan ini mampu membuka mata dan wawasan kita, bahwa ternyata
kalangan Syi’ah pun cukup memberikan apresiasi yang berarti dalam tradisi
penafsiran al-Qur’an di dunia Islam, seperti terjadi di kalangan Sunni.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana pengertian dan latar belakang
munculnya Tafsir Syi’ah?
2.
Tokoh-tokoh dan karya-karya Tafsir Syi’ah?
3.
Bagaimana corak dan metode Tafsir dalam Syi’ah?
4.
Apa saja kelebihan dan kekurangan Tafsir
Syi’ah?
BABA II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir Syi’ah
Sebelum menjelaskan definisi mengenai tafsir
Syiah, perlu kita perhatikan terlebih dahulu dua term, yaitu tafsir dan Syiah.
Tafsir menurut menurut Dr. Abdul Mustaqim ialah suatu hasil pemahaman atau
penjelasan seorang penafsir, terhadap al-Qur’an yang dilakukan dengan
menggunakan metode atau pendekatan tertentu.[3]
Sedangkan Syi’ah secara bahasa adalah penolong,
pengikut. Imam al-Fafairuz ‘Abady mengatakan : “Syi’ah seseorang adaah pengikut
dan pendukungnya. Dan kelompok pendukung ini bisa terdiri dari satu orang, dua
orang, atau ;ebih, laki-laki maupun perempuan. Pada umumnya nama “syi’ah”
dipergunakan bagi setiap dan semua orang yang menjadikan “Ali ra berikut
keluarganya sebagai pemimpin secara terus-menerus, sehingga nama Syi’ah itu
akhirnya khusus menjadi nama bagi mereka saja. Secara istilah “Syi’ah “ pada
mulanya diterapkan bagi kumpulan orang senantiasa berhimpun disekitar
seorang Nabi, Wali atau seorang sahabat
pendukung, partai, atau kelompok.[4] Dari
sini bisa disimpulkan, bahwa tafsir Syi’ah adalah tafsir al-Qur’an yang muncul
dari kalangan Syi’ah dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu, yaitu yang
lebih menekankan mengkaji aspek batin al-Qur’an.
B.
Latar Belakang Munculnya Tafsir Syi’ah
Untuk melihat kapan pastinya tafsir Syi’ah
muncul di dunia Islam, perlu kiranya diperhatikan faktor yang menyebabkan
timbulnya tafsir di kalangan ini. Ignaz Goldziher dalam bukunya menjelaskan
dengan bahasanya, kita harus mempertanyakan apa tujuan yang ingin dicapai oleh
penganut sekte Syi’ah dengan memasukkan kepentingan sekte keagamaan serta
prinsip-prinsip dasar mereka ke dalam penafsiran al-Qur’an?.[5]
Selanjutnya Ignaz Goldziher mengatakan bahwa
hal itu disebabkan karena, secara langsung maupun tidak, tokoh-tokoh lain dari
golongan ini belum mengupayakan secara sungguh-sungguh dan proporsional untuk
menemukan (menetapkan) prinsip-prinsip dasar yang membedakan keyakinan keagamaan
dan politik mereka sebagai sebuah ketetapan secara definitif dalam al-Qur’an.
Sedangkan wilayah pembahasan (perdebatan) pada saat itu, pada awalnya terbatas
pada upaya-upaya penolakan terhadap kepemimpinan golongan Ahlu Sunnah, dengan
melakukan rongrongan atas kepemimpinan tersebut serta mencela terhadap
berdirinya kekhalifahan di bawah keterkungkungan sejarah dinasti Umaiyah dan
dinasti Abbasiyah. Kemudian mereka melontarkan gagasan “kesucian” atas diri
sahabat Ali ra serta para imam.[6]
Dari sini maka dapat dikatakan, bahwa
sebenarnya upaya penafsiran al-Qur’an sudah dilakukan sejak zaman Ali. Dan
momentumnya terjadi pada zaman Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyyah. Pada masa
tersebut golongan Syi’ah mendapat tekanan begitu besar dari penguasa waktu itu.
Sehingga penafsiran mereka pun lebih banyak pada upaya-upaya apologetik dari
kekuasaan dan pengaruh penguasa. Dimana, perseturuan antara golongan Syi’ah
dengan pihak penguasa sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh permasalahan
teologis dan politik.
Untuk memperkuat argumentasi di atas, Drs. Rosihon
Anwar bahkan menyebutkan, bahwa tafsir Syi’ah muncul dengan tujuan memperkuat
(melegitimasi) doktrin teologis mereka, terutama doktrin imamah. Hal ini
diperkuat dengan bukti-bukti sebagai berikut :
Pertama, menurut
Imam al-Dzahabi, tafsir simbolik (dalam hal ini tafsir Syi’ah) muncul pertama
kali di kalangan Syi’ah ketika Syi’ah Isma’illiyah muncul, yakni setelah
wafatnya Imam Ja’far Shadiq pada tahun 147 H. Adapun doktrin imamah muncul
sebelum Ja’far meninggal. Bahkan, ada yang mengatakan, doktrin imamah muncul
semenjak Syi’ah Zaidiyyah, aliran Syi’ah yang muncul terlebih dahulu.
Kedua, menurut
para teolog muslim, benih-benih doktrin teologis Syi’ah dimunculkan oleh
Abdullah bin Saba.’ Beliau menebar benih-benih ini mendapat inspirasi dari
ajaran Kristen dan Yahudi. Di antaranya adalah doktrin imamah. Dan perlu
diketahui, Ibnu Saba’ hidup pada masa pemerintahan Utsman dan Ali.
Selanjutnya Drs. Rosihon Anwar menyimpulkan,
bahwa tafsir Syi’ah muncul setelah kemunculan doktrin imamah, dan kemunculannya
dipicu oleh doktrin ini. Dalam arti tafsir Syi’ah digunakan sebagai alat untuk
mencari justifikasi bagi doktrin imamah. Lebih rsingkatnya, tafsir Syi’ah
muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Ismailliyah (147 H). Kemunculan
tafsir ini terjadi setelah munculnya doktrin imamah yang muncul bertepatan
dengan kemunculan Syi’ah Zaidiyyah. Jika demikian, benar bahwa tafsir Syi’ah
muncul sejak zaman pemerintahan Ali, bahkan lebih jauh lagi sejak pemerintahan
Utsman. Kemunculannya lebih banyak dipicu oleh kepentingan teologis (atau
bahkan politis?) untuk mencari justifikasi doktrin Syi’ah, terutama masalah
imamah.[7]
C.
Tokoh-tokoh Tafsir Syi’ah Dan Karya-karyanya
Prof. Dr. Abubakar Aceh mengatakan bahwa Ali
bin Abi Thalib sebagai ahli tafsir pertama dari kalangan Syi’ah, karena memang
beliau diklaim sebagai imam Syi’ah, pewaris utama Rasulullah. Tidak itu saja,
beliau juga dianggap sebagai ahli tafsir pertama di dunia Sunni. Selanjutnya,
muncul Ubay bin Ka’ab (w. 30 H) dan Abdullah bin Abbas (w. 68 H). Abdullah bin
Abbas, yang biasa dipanggil dengan Ibnu Abbas memiliki karya tafsir, yaitu
Tafsir Ibnu Abbas. Tafsir ini sering digunakan di dunia Syi’ah. Kedua tokoh ini
disebut oleh Imam al-Suyuthi, dalam kitab al-Itqan, sebagai sepuluh ahli tafsir
dari sahabat kurun pertama.[8]
Adapun dari kalangan tabi’in, di antaranya
Maisam bin Yahya al-Tamanar (w. 60 H), Sa’id bin Zubair (w. 94 H), Abu Saleh
Miran (w. akhir abad I H), Thaus al-Yamani (w. 106 H), Imam Muhammad al-Baqir
(w. 114 H), Jabir bin Yazid al-Ju’fi (w. 128 H), dan Suda al-Kabir (w. 127 H).
Yang terakhir sebenarnya bukan ulama dari kalangan Syi’ah. Tetapi beliau sangat
menguasai seluk-beluk tentang Syi’ah.
Selanjutnya, ahli tafsir Syi’ah secara umum,
dalam arti bukan hanya dari kalangan Syi’ah (insider) tapi juga dari luar
Syi’ah (outsider), di antaranya Abu Hamzah al-Samali (w. 150 H), Abu Junadah
al-Saluli (w. pertengahan abad 2 H), Abu Ali al-Hariri (w. pertengahan abad 2
H), Abu Alim bin Faddal (w. akhir abad 2 H), Abu Thalib bin Shalat (w. akhir
abad 2 H), Muhammad bin Khalil al-Barqi (w. akhir abad 2 H), Abu Utsman
al-Mazani 9w. 248 H), Ahmad bin Asadi (w. 573 H), Al-Fattal al-Syirazi (w. 984
H), Jawad bin Hasan al-Balaghi (w. 1302 H), dan lain-lain.
Ada juga ulama yang menulis tafsir dengan
topik-topik tertentu, seperti al-Jazairi (w. 1151 H) dalam bidang hukum,
al-Kasai (w. 182 H) tentang ayat-ayat mutasyabihat, Abul Hasan al-Adawi
al-Syamsyathi (w. awal abad IV H) menulis tentang gharib al-Qur’an, Muhammad
bin Khalid al-Barqi (w. akhir abad 2 H) menulis tentang asbab al-nuzul, Suduq
bin Babuwih al-Qummi (w. 381 H) tentang nasikh-mansukh, dan Ibnu al-Mutsanir
(w. 206 H) menulis tentang majaz.[9]
Sementara itu, Ignaz Goldziher menganggap Imam
al-Jabir al-Ju’fi (w. 128 H/745 M) sebagai ulama yang pertama kali meletakkan
dasar-dasar madzhab Syi’ah. Beliau menulis kitab tafsir. Sayang kitab tersebut
tidak sampai kepada kita, kecuali melalui cerita sepotong-sepotong.
Selanjutnya, Ignaz Goldziher hanya mampu menyebutkan kitab tafsir Syi’ah sejak
abad ketiga hijriyah. Di antaranya, yang paling tua adalah kitab Bayan
al-Sa’adat fi Maqam al-Ibadah karya al-Sulthan Muhammad bin Hajar al-Bajakhti.
Kitab ini dirampungkan pada tahun 311 H/923 M. Pada abad keempat hijriyah
muncul karya tafsir Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi. Sejak saat itulah,
menurut Ignaz Goldziher, bermunculan produk-produk tafsir dari kalangan Syi’ah.
Salah satunya dalah kitab tafsir yang memiliki pembahasan panjang dan terdiri
dari 20 bagian karya ulama besar Syi’ah, Abu Ja’far al-Thusi (w. 460 H/1068 M) [10]
D.
Corak Dan Metode Tafsir Syi’ah
Menurut Rosihon Anwar, secara umum, corak
tafsir Syi’ah adalah tafsir simbolik (menekankan pada aspek batin al-Qur’an).
Kalangan Syi’ah lebih menekankan penafsirannya pada aspek batin al-Qur’an.
Pengklasifikasian al-Qur’an menjadi dua bagian, aspek lahir dan aspek batin,
merupakan prinsip terpenting dalam penafsiran Syi’ah, terutama Syi’ah Imamiyah.
Bahkan mereka menganggap bahwa aspek batin sebagai aspek yang lebih kaya daripada
aspek lahir.
Adapun metode yang dipakai oleh kalangan Syi’ah
dalam menafsirkan al-Qur’an, beragam. Setiap aliran dalam Syi’ah berbeda
metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an. Tapi secara umum, seperti yang telah
dijelaskan oleh Rosihon Anwar, metode yang umum dipakai kalangan Syi’ah, yang
banyak memakai pendekatan tafsir esoterisme-sentris, adalah metode takwil. Dan
perlu diketahui, dalam Syi’ah ada beberapa macam aliran. Imam al-Dzahabi
membaginya ke dalam dua aliran, yaitu Zaidiyah dan Imamiyah. Aliran Imamiyah
terdiri dari Imamiyah Itsna ‘Asyariyah dan Imamiyah Isma’iliyah. Kemudian,
Imamiyah Isma’iliyah memiliki tujuh sebutan, yaitu Isma’iliyah, Bathiniyah,
Qaramithah, Haramiyah, Sab’iyah, Babikiyah atau Khurmiyah, dan Muhmirah.[11] Dan
dari setiap aliran tersebut memiliki metode tafsir khasnya masing-masing.
Selanjutnya kami akan membahas metode tafsir
al-Qur’an masing-masing aliran di atas. Setidaknya, pembahasan ini bisa
menggambarkan metode tafsir yang digunakan kalangan syiah secara umum.
1.
Metode Tafsir Syi’ah Imamiyah Itsna
‘Asyariyah
Sudah menjadi tradisi di kalangan Syi’ah
Imamiyah Itsna ‘Asyariyah untuk menyesuaikan ayat-ayat Allah dengan
prinsip-prinsip ajaran mereka. Misalnya dengan prinsip imamah. Sehingga, mereka
akan berusaha menjadikan al-Qur’an sebagai dalil (justifikasi) bagi klaim-klaim
mereka. Adapun metode yang mereka pakai adalah metode takwil.
Salah satunya bisa kita lihat dalam kitab
tafsir al-Tibyan al-Jami’ li kulli ‘Ulum al-Qur’an karya Abu Ja’far Muhammad
bin al-Hasan bin Ali al-Thusi (selanjutnya disebut Syaikh al-Thusi). Di
kalangan Syi’ah, kitab ini merupakan kitab al-Thabari-nya kalangan Sunni. Kitab
tafsir ini sekaligus merupakan kitab tafsir lengkap pertama yang muncul di
kalangan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Contohnya seperti ketika menafsirkan Qs.
Al-Maidah : 55
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَهُمْ رَاكِعُونَ
“Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”.
Al-Thusi menjadikan ayat tersebut
sebagai dasar bagi keimaman Ali kw. sesudah Nabi saw. langsung tanpa terputus.
Pengertian wali dalam ayat di atas, menurut al-Thusi, adalah ‘yang lebih
berhak’ atau ‘yang lebih utama,’ yaitu Ali. Juga, yang dimaksud wa
al-ladzina amanu adalah Ali kw. Maka, ayat ini ditujukan kepada Ali kw.[12] .Sama
halnya dengan al-Thusi, al-Thabrisi, dalam tafsir Majma’ al-Bayan fi Tafsir
al-Qur’an, menggunakan ayat di atas untuk mengukuhkan kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib. Tidak berbeda dengan pendahulunya, al-Thabrisi juga memaksudkan ayat
ini kepada Ali kw.
Melihat contoh di atas, tampak bagaimana Syaikh
al-Thusi dan al-Thabrisi menggunakan penakwilan untuk menakwilkan kata wali
dan wa al-ladzina amanu yang ditujukan kepada Sayyidina Ali kw.
2.
Metode Tafsir Syi’ah Zaidiyah
Kelompok Syi’ah Zaidiyah adalah pengikut Zaid
bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jika dibandingkan dengan kelompok
Syi’ah yang lain, kelompok Syi’ah ini lebih moderat dan lebih dekat dengan
paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dari segi pandangan keagamaan, kaum Zaidiyah
banyak dipengaruhi oleh Mu’tazilah, karena memang Imam Zaid pernah bertemu
dengan Washil bin ‘Atha,’ pendiri aliran Mu’tazilah.[13]
Karena lebih dekat dengan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, maka metode penafsirannya pun banyak menggunakan metode
tafsir bi al-ma’tsur. Demikian pula, karena banyak dipengaruhi
pandangan Mu’tazilah, Syi’ah Zaidiyah juga tidak lepas dari metode
tafsir bi al-ra’yi. Bahkan dalam kitab tafsir Fathu al-Qadir, Imam
al-Syaukani sampai menyebutkan kitab tafsir al-Qurthubi dan tafsir
al-Zamakhsyari sebagai rujukan tafsirnya.[14]
Contohnya adalah ketika Imam al-Syaukani
menafsirkan surat Ali Imran ayat 169:
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ
اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah
kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan
mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (Q.S. Ali Imran 169)
Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Syaukani
mengemukakan, bahwa orang yang mati syahid hidup secara hakiki, bukan secara
majazi, dan mereka diberi rizki di sisi Tuhan mereka. Pendapatnya ini, beliau
dasarkan kepada pendapat jumhur ulama. Bahkan, berdasarkan hadits Rasulullah
saw. beliau mengatakan, bahwa ruh orang yang mati syahid ada dalam rongga perut
burung-burung hijau, mereka mendapatkan rizki, dan mereka bersenang-senang.[15]
E.
Kelebihan Dan Kekurangan Tafsir Syi’ah
Ada satu kelebihan yang bisa kita tiru dari metode
tafsir yang digunakan kelompok Syi’ah. Dengan menggunakan metode takwil,
kelompok Syi’ah lebih kepada makna batin
al-Qur’an. Walaupun harus diperhatikan, bahwa banyak takwil mereka yang
cenderung arogan. Hal ini berbeda dengan metode tafsir yang berkembang di dunia
Sunni, yang cenderung literal dan skriptualis. Sehingga penafsiran al-Qur’an di
dunia Sunni kurang memperhatikan weltanschaung al-Qur’an dan aspek batin
(esoteris) al-Qur’an, yang merupakan pesan al-Qur’an yang sebenarnya.
Adapun kekurangan tafsir Syi’ah, seperti yang
dibicarakan di atas, penggunaan metode takwil mereka cenderung arogan dan
kurang memperhatikan aturan-aturan takwil dalam khazanah ‘Ulum al-Qur’an.
Takwil yang mereka pakai hanya didasarkan pada kepentingan mereka mencari
justifikasi untuk mendukung pandangan madzhabnya. Akibatnya, makna al-Qur’an
sering mereka selewengkan demi kepentingan madzhab mereka. Sehingga, alih-alih
mereka mencari makna batin al-Qur’an, malah makna al-Qur’an mereka selewengkan
begitu jauh.[16]
BAB III
DAFTAR
PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung:
Mizan, 1992
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran
al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun
Pustaka, 2003
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah
Tafsir Al-Qur’an. Yogyakarta: Pondok Pesantren LSQ Ar-Rahmah, 2012
Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern,
terj. M. Alaika Salamullah, dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003
Aceh, Abubakar. Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme dalam
Islam. Semarang: CV. Ramadhani, 1980
Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir
al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar
Zoerni dan Abdul Qodir Hamid. Bandung: Pustaka, 1987
[1] . M. Quraish
Shihab, Membumikan
al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 92
[2]. Abdul
Mustaqim, Madzahibut
Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta:
Nun Pustaka, 2003), hlm. 81-87
[3] . Dr. Abdul
Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pondok
Pesantren LSQ Ar-Rahmah, 2012), hlm 3
[4] . Dr. Mahmud
Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan
Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid
(Bandung: Pustaka, 1987), hlm
[5] . Ignaz
Goldziher, Mazhab
Tafsir: dari Klasik hingga Modern, terj. M.
Alaika Salamullah, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hlm. 315
[6] . Ignaz
Goldziher, Mazhab
Tafsir: dari Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika
Salamullah, dkk. hlm. 315
[7] . http://ayurahayu2010.wordpress.com/2010/01/22/tafsir-syiah/ diakses pada
tanggal 15-november-2013 pukul 13:21
[8] . Prof. Dr.
Abubakar Aceh, Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme dalam
Islam (Semarang: CV. Ramadhani, 1980), hlm. 155
[9] . Prof. Dr.
Abubakar Aceh, Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme dalam
Islam . hlm. 156-158
[10] . Ignaz
Goldziher, Mazhab
Tafsir: dari Klasik hingga Modern, terj. M.
Alaika Salamullah, dkk. Hlm. 335-336
[11] . http://ayurahayu2010.wordpress.com/2010/01/22/tafsir-syiah/ diakses pada
tanggal 15-november-2013 pukul 13:37
[12] . Dr. Mahmud
Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan
Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid
(Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 155-160
[13]. Dr. Mahmud
Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan
Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid, hlm. 234
[14]. Dr. Mahmud
Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan
Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid, hlm. 240
[15] . Dr. Mahmud
Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan
Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid, hlm. 241
[16]. http://ayurahayu2010.wordpress.com/2010/01/22/tafsir-syiah/ diakses pada
tanggal 15-november-2013 pukul 13:51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar