REVISI MAKALAH
Guna Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
Ulumul Qur’an III
Dosen Pengampu: Muhammad Chirzin
Oleh
Shihhah Tsaniyah (11530129)
TAFSIR HADITS
UIN SUNAN KALIJAGA
BAB I
PENDAHULUAN
kajian ilmiah yang obyektif merupakan dasar ilmu pengetahuan
(ma’rifah) yang benar dan dapat memberikan manfaat bagi para penuntutnya,
buahnya menjadi makanan paling lezat bagi santapan pikiran dan perkembangan
akal. Oleh karena itu tersedianya saran dan pra-sarana yang memadai bagi
seorang pengkaji merupakan suatu nilai khusus bagi kematangan kajiannya.
Kajian ilmu-ilmu syari’at pada umumnya, ilmu tafsir khususnya
merupakan aktifitas yang harus memperhatikan sejumlah syarat dan etika,
demi menjernihkan sumber dan memelihara
keindahan wahyu dan keagungannya.
Dan dalam kesempatan kali kami akan membahas permasalahan penting
mengenai tafsir terutama pelaku tafsir (mufassir) perihal syarat-syarat beserta
adab-adabnya yang dipaparkan oleh beberapa ulama tafsir sebagai suatu hal yang
patut diperhatikan dan dilaksanakan oleh para mufassir al-Qur’an.
Harapan penulis mengangkat tema ini semoga bisa memberi sumbangan
dalam permasalahan tafsir. Terutama yang berkaitan dengan pribadi mufassir dari
segala aspek kelayakannya yang perlu diperhatikan demi perkembangan kajian
tafsir yang lebih dinamis kearah yang lebih baik. dan tak lepas dari segala
kekurangan dan kesederhaan yang ada dalam tulisan ini semoga bisa dikembangkan
dalam wilayah kajian yang lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tafsir dan Mufassir
Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi
teks lainnya; baik itu teks karya sastra maupun teks suatu kitab yang dianggap sebagai
kitab suci agama tertentu. Ketika kita membahas tafsir Al-Quran, maka
pengertiannya harus merujuk pada pengertian yang sesuai dengan sudut pandang (worldview)
Islam. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti (الإيضاح والتبيين) “menjelaskan”. Lafal dengan makna ini
disebutkan di dalam Al-Quran,
وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ
بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling
baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan:
33). Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya. Selain itu, kata
tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti (الإبانة والكشف) “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus,
kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup. Adapun
secara istilah, para ulama mengemukakan beragam definisi mengenai tafsir yang
saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya.
·
Imam Az-Zarkasy dalam mendefinisikan tafsir dengan :
“Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,
menerangkan makna-maknanya, serta mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.”
·
Abu Hayyan Mendefinisikan tafsir dengan :
“Ilmu yang membahas tentang cara pencucapan lafazh-lafazh
al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang indepeden
maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tentang makna-maknanya yang
berkaitan dengan kondisi struktur lafazh yang melengkapinya.”[1]
·
Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir
dengan:
“Ilmu yang membahas maksud Allah ta‘ala sesuai dengan kadar
kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan
pemahaman dan penjelasan makna.”
Demikianlah definisi tafsir yang dikemukakan oleh para ulama. Tafsir
adalah aktivitasnya, sedangkan pelakunya disebut sebagai mufassir. Husain bin
Ali bin Husain Al-Harby menjelaskan definisi mufassir secara lebih
panjang:
المفسّر هو من له أهلية تامّة يعرف بها مراد الله
تعالى بكلامه المتعبّد بتلاوته, قدر الطاقة, وراض نفسه علي مناهج المفسرين, مع
معرفته جملا كثيرة من تفسير كتاب الله, ومارس التفسير عملياً بتعليم أو تأليف.
“Mufassir adalah orang yang memiliki kapabilitas sempurna yang
dengannya ia mengetahui maksud Allah ta‘ala dalam Al-Quran sesuai dengan
kemampuannya. Ia melatih dirinya di atas manhaj para mufassir dengan mengetahui
banyak pendapat mengenai tafsir Kitâbullâh. Selain itu, ia menerapkan
tafsir tersebut baik dengan mengajarkannya atau menuliskannya.” [2]
Sebelum melangkah
pada pembahasan syarat-syarat mufassir, pertama hal yang wajib dilakukan
adalah, wajib memperhatikan bagi seorang muslim yang ingin menafsirkan
Al-Qur’an yaitu mengarahkan dirinya bahwa ia ketika itu sebagai juru bahasa
Allah, menjadi saksinya terhadap maksud firman-Nya. Bila ini sudah ditancapkan
didalam hatinya, maka niscaya ia akan memiliki rasa takut akan kesaksiannya,
akan tetapi jika sebaliknya, maka neraka sebagai ancaman ia di hari kiamat
kelak. Beberapa rujukan ketika menafsirkan Al-Qur’an yang pertama yaitu, kalam
Allah, dan yang kedua sabda Rasululloh. Yang ketiga adalah perkataan sahabat,
keempat perkataan tabi’in yang mempelajari tafsir dari para sahabat.
Selanjutnya yang kelima yaitu pengertioan-pengertian syara’ dan bahasa yang
dikandung kata-katanya dan sesuai dengan susunannya.[3]
B.
Syarat-syarat Mufassir
Makna dasar kata ini adalah tanda, atau mewajibkan sesuatu, atau
syarat,[4]
seperti yang telah kita pahami dalah bahsa Indonesia. Sementara dalam kamus
bahasa Indonesia, syarat ialah ketentuan yang harus ada, tuntutan terhadap
sesuatu yang harus diadakan.[5]
Dalam pembahasan Ushul Fiqih mengenai hukum Wadh’I disebutkan bahwa syarat
adalah : ma yalzamu’adamuhu ‘adam al-hukm. Menurut Abu Zahrah, syarat
adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Artinya, ketika
syarat itu tidak ada, maka secara otomatis hukum juga tidak ada.[6]
Manna’ al-Qatthan menjelaskan beberapa syarat yang harus dimiliki
seorang mufassir, yaitu:
1.
Akidah yang benar. Akidah mempunyai peranan yang sangat besar
terhadap jiwa pemiliknya. Ketika ia mempunyai akidah yang melenceng, tentu saja
ia akan menafsirkan al-Qur’an dengan berbagai penyimpangan, yang artinya
merusak pemahaman akan al-Qur’an itu sendiri.
2.
Bisa menguasai hawa nafsu. Tidak jarang hawa nafsu menjadi pemicu
pemiliknya untuk membela kepentingan mazhabnya.
3.
Menafsirkan lebih dahulu al-Qur’an dengan al-Qur’an.
4.
Menafsirkan al-Qur’an dengan Sunnah, karena sunnah berfungsi
sebagai pensyarah Qur’an dan penjelasnya.
5.
Menafsirkan al-Qur’an dengan pandangan para sahabat jika tidak
didapatkan penafsiran dalam al-Qur’an dan Sunnah.
6.
Menafisirkan al-Qur’an dengan pandangan tabi’in.
7.
Mempunyai pengetahuan bahasa Arab.
8.
Memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan
dengan al-Qur’an, seperti qiraat, ushul al-tafsir, asbab nuzul, nasikh
mansukh ayat, dsb.
9.
Pemahaman yang cermat.[7]
Adapun bagi seorang mufassir kontemporer oleh Ahmad Bazawy adh-Dhawy,
ia harus menguasai tiga syarat penegetahuan tambahan lainnya selama lima belas
di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:
1.
Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu
memberikan penafsiran terhadap al-Qur’an yang turut membangun peradaban yang
benar agar terwujud Universitas Islam.
2.
Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan olitik yang
sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu menjawab setiap syubhat yang
ditujukan kepada Islam serta memunculakn hakikat dan sikpa al-Qur’an terhadap
problematika kontemporer.
3.
Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat
Islam terhadap hakikat Islam serta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
4.
Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan
ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap
problem tersebut.
Dalam permasalah siapa saja yang boleh menafsirkan al-Qur’an, Imam
Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima
belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir.[8]
Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan
kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.
Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam
menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,
لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم
يكن عالمًا بلغات العرب.
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia
tidak mengetahui bahasa Arab.”
2.
Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan
sesuai dengan perbedaan i’rab.
3.
Tashrîf
(sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah
(tense) suatu kata.
4.
Isytiqâq
(derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek
yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح).
5.
Al-Ma‘âni
karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu
kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6.
Al-Bayân
karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu
kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
7.
Al-Badî‘
karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu
kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
8.
Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara
mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara
satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
9.
Ushûluddîn
(prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara
tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala.
Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil
terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
10.
Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl
(segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
11.
Asbâbun Nuzûl
(sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai
dengan peristiwa diturunkannya.
12.
An-Nâsikh wa al-Mansûkh
agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari
ayat selainnya.
13.
Fikih.
14.
Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal
(global) dan mubham (tidak diketahui).
15.
Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala
anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.
Diantara beberapa macam, syarat mufassir yang telah disebutkan
diatas, penulis lebih condong pada yarat-syarat dari rujukan Manna’ Al-Qathan.
Tetapi tidak berarti selain itu diabaikan, karena pada dasarnya sebuah ilmu
pengetahun munculnya karena adanya perbedaan pendapat dari pemikir yang berbeda
pula. Sehingga syarat-syarat mufassir yang dipakai hendaklah dapat memilih dan
cocok.
C.
Adab-adab Mufassir
Dalam kamus al-Munawwir, adab mempunyai arti aturan, tata
karma atau kesopanan.[9]
Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia adab sendiri mempunyai arti budi
pekerti yang halus dan akhlak yang baik.[10]
Adab merupakan salah satu syarat bagi mufassir dalam aspek
kepribadian. Yang dimaksud aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai
ruhiyyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar menjadi layak dalam
menjelaskan suatu hakikat dari al-Qur’an terhadap orang yang kurang mengetahui.
Menurut Manna’ al-Qatthan diantara adab Mufassir adalah sebagai berikut:[11]
1.
Berniat baik dan bertujuan benar, seorang mufassir harus memiliki
niat dan tujuan yang baik, karena segala sesuatu itu bergantung pada niat, maka
dari itu selayaknya mufassir telah menata niatnya sebelum mulai menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini juga diarahkan supaya mufassir menjauhkan diri
dari tujuan-tujuan duniawi yang akan mendatangkan madlorot bagi dirinya
sendiri.
2.
Berakhlak baik, diumpamakan seorang mufassir adalah seorang
pendidik atau guru yang dipanuti, karena itu sebagai seorang yang dianut, maka
orang tersebut harus mempunyai perangai yang baik dan sopan, agar para
penganutnya merasa benar telah mempercayai apa yang telah diajarkan oleh guru
mereka. Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis tingkah
laku yang berlawanan dan terpancar dari pada dua sistem nilai yang berbeda.
Kedua-duanya memberi kesan secara langsung kepada kualiti individu dan
masyarakat. individu dan masyarakat yang dikuasai dan dianggotai oleh
nilai-nilai dan akhlak yang baik akan melahirkan individu dan masyarakat yang
sejahtera. Begitulah sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh
nilai-nilai dan tingkah laku yang buruk, akan porak poranda dan kacau balau.
3.
Taat dan beramal, karena ilmu lebih dapat diterima melalui orang
yang mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan menjadi panutan yang
baik bagi pelaksanaan masalah-asalah agama yang ditetapkannya.
4.
Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan, karena ilmu lebih dapat
diterima melalui orang yang mengamalkannya. Perilaku mulia sang penafsir akan
menjadi panutan yang baik bagi pelaksanaan masalah-maslah agama yang ditetapkannya.
5.
Tawaddhu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan
dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6.
Berjiwa mulia, seharusnya seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal
yang remeh serta tidak mendekati dan meminta-minta kepada penguasa.
7.
Vocal dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad yang paling utama
adalah menyampaikan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim.
8.
Berpenampilan baik sehingga dapat memberikan kesan wibawa yang
dapat menjadikan mufassir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya
secara umum, juga dalam cara duduk, berdiri, dan berjalan.
9.
Tenang dan mantap, mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam
berbicara, tepi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap, dan jelas kata
demi kata.
10.
Mendahulukan orang yang lenih utama dari pada dirinya, seorang
mufassir harus hati-hati menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai,
menghargainya dan belajar darinya.
11.
Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara ilmiah
dan sistematik seperti memulakannya dengan menyebut asbab al-nuzul, arti
perkataan, menerangkan susunan perkataan, memberi penerangan kepada aspek-aspek
balaghah dan I’rab yang mana penentuan makna bergantung
kepadanya, menjelaskan makna umum dan menghubungkannya dengan kehidupan
sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu, serta membuat
kesimpulan dan menentukan hukum.
Sementara itu Imam Suyuthi mengatakan, “ketahuilah bahwa seseorang
yang tidak dapat memahami wahyu Allah dan tidak akan terlihat rahasia olehnya
rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid’ah, kesombongan, dan
hawa nafsu, cinta dunia, gemar malakukan dosa, lemah iman, bersandar pada
mufassir yang tidak memiliki ilmu atau merujuk pada akalnya. Semua ini
merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat dari pada sebagian
yang lain. Inilah makna firman Allah yang terjemahnya:
“Aku akan memalingkan orang-orang yang
menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda
kekuasaan-Ku. mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku)[569], mereka tidak beriman
kepadanya. dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka
tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus
memenempuhnya. yang demikian itu adalah Karena mereka mendustakan ayat-ayat
kami dan mereka selalu lalai dari padanya.”
Maksud ayat di atas adalah pemahaman mereka mengenai akal yaitu
penafsiran akan diambil oleh Allah karena sifat sombong mereka yang seharusnya
tidak dimiliki oleh seorang mufassir.
Berdasarkan keterangan Imam Suyuthi di atas, Ahmad Bazawy Adh-Dawhi
meringkas sejumlah adab yang harus dimiliki oleh mufassir, yaitu:[12]
Akidah yang lurus, terbebas dari hawa nafsu, niat yang baik, akhlak
yang baik, tawaddhu’ dan lemah lembut, zuhud terhadap dunia, taubat dan taat
terhadap perkara yang syari’, tidak bersandar pada ahli bid’ah dan kesehatan
dalam menafsirkan, dan tidak tunduk pada akalnya, sehingga menjadikan al-Qur’an
sebagai pedoman.
Sekilas salah satu contoh mufassir yang banyak memiliki syarat-syarat
dan adab bagi mufassir yaitu, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn
Ghalib Al-Tabari Al-Amuli yang mempunyai tafsir At-Tabari. Beliau hidup dan
tumbuh berkembang pada lingkungan keluarga yang cukup memperhatikan terhadap
pendidikan, terutama bidang keagamaan. Kehidupannya juga diiringi dengan
kemajuan peradaban Islam dan berkembangnya pemikiran ilmu keIslaman. Berlanjut
terus- menerus beliau belajar dan merantau ke Negara lain. Sehingga pada
akhirnya Al-Tabari pada paruh abad III H, dan disosoalisasikan kepada muridnya
kurang lebih 8 tahun, sekitar 282 -290 H.
Dalam karakteristik penafsirannya, dari aspek bahasa, ilmu
gramatika bahasa (nahwu) dan
linguistiknya yang sangat diperhatikan dalam penggunaan bahasa Arabnya, dan
pada syair-syair Arab kuno. Metode yang digunakan beliau yaitu tafsir bi
al-Ma’sur selain itu dalam ilmu hadis, ia melakukan kritik sanad hadis dengan
melakukan ta’dil dan tarjih.
Mengenai adab mufassir At-Tabari, penulis belum menemukan secara
luas, tetapi terlihat bagaimana ayah beliau yang mendidiknya sejak kecil,
akhlak dan sikap dan juga kampung halamnya yang yang cukup kondusif untuk
membangun struktur fundamental awal pendidikan At-Tabari. Disini kewibawaan,
keadilan dan kejujurannya seorang ayah telah tertular pada putranya.[13]
BAB III
PENUTUP
Demikian beberapa penjelasan yang sudah kami bahas dalam tema ini
sebagai unsur-unsur yang menambah khazanah keilmuan kita, khususnya dalam
bidang tafsir. Hal ini tak lepas dari perhatian para ulama tafsir yang
memberikan beberapa catatan penting dalam permasalah penafsiran terutama bagi
mufassir itu sendiri dengan melihat beberapa hal yang dibahas pada tema kali
ini supaya menjadi perhatian khusus untuk mengetahui banyak hal dalam tata cara
dan etika serta syarat mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an yang bertujuan agar
terhindar dari kesalahan fatal dalam penafsiran dan untuk menjaga kejernihan
dan keindahan al-Qur’an sebagai obyek kajian tafsir.
Dengan
memperhatikan beberapa syarat dan adab mufassir di atas, setidaknya hal itu
mampu menghindari kemungkinan buruk dalam menafsirkan sehingga mufassir bisa
maksimal dan mampu melaksanakan hal-hal penting yang harus diperhatikan agar
tercapai hasil penafsiran yang lebih tepat dengan maksud Allah sebagai Author
al-Qur’an dan hasilnya dapat memberikan dampak positif terhadap
perkembangan kajian tafsir.
Dalam suatu hadis
Rasul adapula yang memaparkan mengenai ancaman bagi orang yang menafsirkan
al-Qur’an tanpa landasan ilmu termasuk ahli neraka :
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa yang berkata
tentang Al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di
neraka.” (HR
At-Tirmidzi)[14]
Dari hadis ini
maka sangatlah penting bagi seorang mufassir mampu memenuhi syarat-syarat yang
ada dan kaidah yang berlaku dalam penafsiran. Aturan-aturan yang ada tersebut
sebagai tadzkiroh agar tidak terjadi kajian tafsir yang menimbulkan
kerancuan dan bertentangan dengan sumber ajaran Islam serta kehendak Allah dan
Rasul-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Manna’ al-Qatthan, Pengantar
Studi Ilmu Al-Qur’an Terj. H. Aunur Rafiq Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2009.
Al-Harby, Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id
at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn; Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh:
Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. Diakses dari sumber : http://www.sarjanaku.com/2009/12/studi-tentang-syarat-syarat-mufassir-al.html
Al-Jauhari, al-Shahah fi al-Lughah Juz 1
JS Badudu dan Sutan Moh Zain, Kamus Umum
Bahasa Indonesia (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1994),hal.1390
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih cetakan
ke-12 Jakarta:Pustaka Firdaus, 2008.
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan bab fi
Ma’rifati Syuruti al-Mufassir wa Adabihi hlm 443-444 diakses dari Maktabah
Syamilah
Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus
Bahasa Arab. Surabaya:Pustaka Progresif, 2002
Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus
Bahasa Indonesia (Jakarta:Pusat Bahasa, 2008),hal.9
Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahis fi
Ulum al-Qur’an (terj.) Mudzakkir AS Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009
Ahmad Badhawy, adh-Dhawy, Syurut
al-Mufassir wa Adabuhu dalam http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/syarat-dan-adab-mufassir.html diakses pada tanggal 02 April 20013
Maktabah Syamilah, Kitab Sunan
at-Tirmidzi Bab Ma Jaa Fi al-Ladzi Yafsiru al-Qur’an, no. hadis 2874
[1] Syaikh Manna’ al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an Terj.
H. Aunur Rafiq (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009), hlm. 409
Al-Harby,
Husain bin Ali bin Husain. 1996. Qawâ‘id at-Tarjîh ‘Inda al-Mufassirîn;
Dirâsah Nazhâriyyah Tathbîqiyyah. Riyadh: Dâr al-Qâsim. Juz 1. Hal. 29.
[3] Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin “ DAsar-DAsar penafsiran Al-Qur’an”
(Semarang : Dina Utama, 1989) hlm 31-35
[4] Al-Jauhari, al-Shahah fi al-Lughah Juz 1, hal.352
[5] JS Badudu dan Sutan Moh Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1994),hal.1390
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih cetakan ke-12
(Jakarta:Pustaka Firdaus, 2008),halm.75
[7] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (terj.)
Mudzakir AS (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009),halm.463-465
[8] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqan bab fi Ma’rifati Syuruti
al-Mufassir wa Adabihi hlm 443-444 diakses dari Maktabah Syamilah
[9] Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir Kamus Bahasa Arab
(Surabaya:Pustaka Progresif, 2002),juz 2,hal.911-912
[10] Tim penyusun kamus pusat bahasa, Kamus Bahasa Indonesia
(Jakarta:Pusat Bahasa, 2008),hal.9
[11] Manna’ Khalil al-Qatthan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (terj.)
Mudzakkir AS (Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa, 2009),hal.465
[12] Ahmad Badhawy, adh-Dhawy, Syurut al-Mufassir wa Adabuhu
dalam http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/syarat-dan-adab-mufassir.html
diakses pada tanggal 02 April 20013
[13]. Muhammad Yusuf ,MA, Dkk “ Studi Kitab Tafsir MEnyuarakan Teks yang
Bisu” ( Yogyakarta : Teras, 2004) hlm 22-25
[14] Maktabah Syamilah, Kitab Sunan at-Tirmidzi Bab Ma Jaa Fi
al-Ladzi Yafsiru al-Qur’an, no. hadis 2874
Tidak ada komentar:
Posting Komentar