Kamis, 02 Januari 2014

ulumul Qur'an 3




HADIST TENTANG NIKAH MUT’AH
Makalah ini disusun guna Memenuhi Mata Kuliah
Hadis Ahkam
Dosen Pengampu : Syaifuddin zuhri


Di Susun Oleh :
Shihhah Tsaniyah                    (11530129)



TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA
2013/2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dengan akad perjanjian dalam jangka waktu tertentu. Misalnya, enam jam, satu hari, empat hari dll. Pernikahan mut’ah ini sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Pada awalnya nikah mut’ah dihalalkan oleh Rasulallah Dan kemudian akhirnya hingga saat ini dan sampai nanti hari kiamat telah diharamkan hukumnya.
Banyak sekali perbedaan pendapat antara ulama-ulama mengenai hukum dari nikah mut’ah tersebut. Diantaranya ulama Sunni dari empat madzhab telah mengharamkan nikah mut’ah. Sedangkan ulama lain yang membolehkan nikah mut’ah diantaranya : ulama dari Syi’ah Syaikh Al-Tusi.
Perdebatan hukum tersebut telah berlangsung hingga saat ini, dengan masing-masing ulama mempunyai pedoman dan dasar yang diyakininya sendiri. Sehingga sangat penting apabila dalam ilmu pengetahuan nikah mut’ah tersebut diteliti secara luas mulai dari meneliti hadis dan sampai pada ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan tema pembahasan nikah mut’ah tersebut.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana kualitas hadis Nikah mut’ah dari riwayat Imam Bukhori No 3894 ?
2.      Bagaimana penjelasan matan pada hadis Nikah mut’ah tersebut?











BAB II
PEMBAHASAN
Teks hadis dan terjemah
حَدَّثَنِييَحْيَىبْنُقَزَعَةَحَدَّثَنَامَالِكٌعَنْابْنِشِهَابٍعَنْعَبْدِاللَّهِوَالْحَسَنِابْنَيْمُحَمَّدِبْنِعَلِيٍّعَنْأَبِيهِمَا
عَنْعَلِيِّبْنِأَبِيطَالِبٍرَضِيَاللَّهُعَنْهُ أَنَّرَسُولَاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَنَهَىعَنْمُتْعَةِالنِّسَاءِيَوْمَخَيْبَرَوَعَنْأَكْلِلُحُومِالْحُمُرِالْإِنْسِيَّة

Terjemah : Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Qaza'ah telah menceritakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan Al Hasan, dua anak Muhammad bin 'Ali dari Bapak keduanya dari 'Ali bin Abu Thalib radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang nikah mut'ah (perkawinan dengan waktu terbatas semata untuk bersenang-senang) dan melarang makan daging keledai jinak pada perang Khaibar."
Selanjutnya akan dilakukan penelitian sanad pada hadis tersebut, dengan langkah yang pertama yaitu mentakhrij hadis. Disini peneliti menggunakan Al-Maktabah Asy-syamila dalam melakukan takhrij hadis. Dan dibawah ini hasil dari takhrij hadis.


1.      Takhrij hadis

NO
NO HADIS
PERIWAYAT
1
4724
Imam Bukhori
2
3581
Shahih Muslim
3
1774
Sunan Abu Daud
4
1716
Sunan At-Tirmidzi
5
1951
Sunan Ibnu Majjah
6
994
Muwatho’ Malik
7
2252
Sunan Ad-Darimi
8
3685
Sunan Daruqutni
9
15956
Musnad Ahmad

2.      Tahqiq hadis
a.       Nama Lengkap : Yahya bin Qaza'ah
Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan tua
Negeri semasa hidup : Marur Rawdz
Komentar ulama  mengenai Yahya bin Qaza’ah
            Ibnu Hibban : disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ibnu Hajar al 'Asqalani : maqbul
Adz Dzahabi : Tsiqah

b.      Nama Lengkap : Malik bin Anas bin Malik bin Abi 'Amir
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan tua
Kuniyah : Abu 'Abdullah
Negeri semasa hidup : Madinah
Wafat : 179 H
Komentar ulama mengenai Malik bin Anas bin Malik bin Abi’ Amir
Yahya bin Ma'in :Tsiqah
Muhammad bin Sa'd :       tsiqah ma`mun
c.       Nama Lengkap : Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin Syihab
Kalangan : Tabi'ut Tabi'in kalangan pertengahan
Kuniyah : Abu Bakar
Negeri semasa hidup : Madinah
Wafat : 124 H
Komentar ulama mengenai periwayat :
Ibnu Hajar al 'Asqalani: faqih hafidz mutqin
Adz Dzahabi  :seorang tokoh
d.      Nama Lengkap : Abdullah bin Muhammad bin 'Ali bin Abi Thalib
Kalangan : Tabi'in kalangan biasa
Kuniyah : Abu Hasyim
Negeri semasa hidup : Madinah
Wafat : 99 H
Komentar ulama mengenai periwayat :
An Nasa'i : Tsiqah
Ibnu Hibban : disebutkan dalam 'ats tsiqaat
Ibnu Hajar : Tsiqah
Adz Dzahabi : tidak ada padanya
e.       Nama Lengkap : Muhammad bin 'Ali bin Thalib
Kalangan : Tabi'in (tdk jumpa Shahabat)
Kuniyah : Abu Al Qasim
Negeri semasa hidup : Madinah
Wafat : 80 H
Komentar ulama mengenai periwayat :
Al 'Ajli : Tsiqah
Ibnu Hajar al 'Asqalani : Tsiqah
f.       Nama Lengkap : Ali bin Abi Thalib bin 'Abdu Al Muthallib bin Hasyim bin 'Abdi Manaf
Kalangan : Shahabat
Kuniyah : Abu Al Hasan
Negeri semasa hidup : Kufah
Wafat : 40 H
Komentar para ulama : Ali bin Abi Thalib adalah Seorang sahabat.[1]









3.      I’tibar
SKEMA SANAD HADIS RIWAYAT IMAM BUKHORI TENTANG NIKAH MUTH’AH


 



Text Box: عَلِيِّبْنِأَبِيطَالِبٍ



 



4.      

5.     Text Box: محمد بن مسلم بن ابيد اللهحدثني
6.      
7.     Text Box: ملك بن انسعن
8.      


 






Kesimpulan dari penelitian sanad diatas hadis berkualitas shahih, yaitu bersambung dan mempunyai hubungan guru dan murid sebagai ayah dan anak, selain itu hubungan keterseambungan lainnya sebagai guru dan murid murni.

4.  Matan Hadis :
a. pengertian Nikah Muth’ah

Pengertian nikah Mut’ah dalam kamus Arab mendefinisikan mut’ah sebagai kesenangan, kegembiraan, kesukaan. Secara istilah perkawinan mut’ah adalah perkawinan dimana akad ditetapkan akan berakhir pada periode waktu tertentu. Perkawinan mut’ah ini disebut dalam hadis dan dalam kitab-kitab fiqih. Pada umumnya nikah mut’ah juga lebih sering dipakai untuk menyebut nikah sementara dari pada istilah-istilah lainnya, baik itu pada masa Nabi Muhammad maupun pada masa imam-imam syi’ah dan para tokoh muslim terkemuka lainnya.[2]
Pernikahan semacam ini juga dikenal dengan sebutan al-nikah al-munqati’ (perkawinan terputus) dan al-nikah al-mawaqqat (perkawinan sementara) atau juga pernikahan kontemporer. Menurut istilah pada umumnya nikah muth’ah sama dengan nikah muwaqqat. Dapat dikatakan juga nikah muth’ah disebut nikah kontrak, karena pernikahannya dilaksanakan berdasarkan tempo waktu dan imbalan yang telah disepakati oleh kedua pihak.
Dalam sejarahnya perkawinan muth’ah telah menjadi tradisi bangsa arab jahiliyyah dan sampai dengan Rasulallah, bhakan pada saat Rasulallah , melaksanakan haji di Mekkah pada tahun 10 H, tradisi jahiliyyah ini masih tetap berjalan. Tetapi pada saat itu pula Rasulallah SAW, menghapuskan dengan adanya kebiasaan kawin muth’ah dan beliau menyatakan bahwasannya nikah muth’ah ini merupakan pernikahan yang terlarang sampai nanti hari kiamat.[3]


b. pro dan kontra pengharaman nikah muth’ah

dari banyak pendapat ulama-ulama, baik dari aliran Sunni maupun Syi’ah telah sepakat bahwa Rasulallah pernah membolehkan nikah muth’ah. Sedangkan Rasulallah mengharamkan nikah tersebut juga masih banyak perbedaan pendapat.
Pendapat empat mahzab Sunni mengenai mut’ah yaitu, pada awalnya nikah mut’ah diperbolehkan kemudian dilarang karena pada awal islam, umat muslim adalah minoritas dan sering berperang, banyak diantara mereka tidak dapat menikah dan membangun keluarga, karena mereka senantiasa dipanggil untuk melakukan perjalanan jauh dan berperang melawan orang-orang kafir. Disamping itu mereka belum lama memeluk agama Islam yang dibawah oleh Nabi Muhammad pada saat itu, yang sebelumnya mereka terbiasa dengan kehidupan seksual Arab bebas, mempunyai banyak simpanan wanita tak memperdulikan istri-istri mereka, dalam kehidupan seksual mereka hanyalah menginginkan atau memuaskan hawa nafsunya saja.[4]
Ketika mereka masuk Agama Islam dengan ajaran yang menurut mereka ketat, akan sulit bagi mereka ketika mereka melakukan peperangan pada suatu daerah yang jauh dari tempat tinggal mereka dan istri-istrinya tanpa ada kesempatan untuk memuaskan hasrat seksual mereka. Karenanya adalah wajar bahwa mereka diperbolehkan untuk melakukan pernikahan sementara. Alasan mengapa mut’ah diperbolehkan yaitu memang karena ada situasi khusus di Era Islam awal.
Dalam hadis sabra yang disampaikan Muslim mengkorfirmasikan pandangan ini : “ Rasulullah memberikan kami izin untuk melakukan mut’ah pada hari penaklukkan Mekkah ketika kami memasuki kota itu. Kemudian setelah dia meninggalkan kota, dia melarangnya sekali lagi” . Dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa di perbolahkannya nikah mut’ah memang karena ada situsi khusus tertentu.
Selanjutnya masih ada aliran yang berpedoman bahwa nikah muth’ah tidak diharamkan atau masih diperbolehkan yaitu ulama kontemporer mengatakan bahwa seluruh hadis yang berisi tentang pengharaman nikah muth’ah itu hukumnya dhoif atau lemah sedangkan hadis yang menyatakan bahwa nikah muth’ah diperbolehkan itu berkualitas shahih.[5]
Selain berdasarkan argument diatas, pendapat yang mengatakan bahwa nikah muth’ah diperbolehkan yaitu didasarkan pada, QS An-Nisa’ ayat 24 yang terjemahnya : “dan perempuan-perempuan yang kamu nikahi dengan muth’ah hendaknya kamu memberikan ujrahnya (mahar) sebagai suatu kewajiban.”
 Kemudian dari sekian perbedaan pendapat diatas, perlu kiranya untuk mencari sumber untuk menemukan titik terang bagaimana sebenarnya hukum nikah muth’ah tersebut. Pembuktian pertama bahwa nikah muth’ah tersebut haram adalah hadis yang dibahas oleh peneliti di atas yaitu hadis no 3684 yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
Dan pendapat-pendapat kritis lainnya yaitu Syekh Muhammad Thahir bin Asyur, seorang ulama besar dari Tunisia dan muftinya menyimpulkan bahwa nikah mut’ah didizinkan oleh Rasulallah dua kali dan beliau melarang nikah Mut’ah dua kali juga. Larangan tersebut menurut Syekh bukan berarti pembatalan, melainkan penyesuaian kondisi kebutuhan yang sangat darurat. Seperti yang dijelaskan diatas mengenai perjalanan peperangan para prajurit yang tanpa membawa istri mereka ikut serta. Pendapat Syekh tersebut lebih jauh terbukti di praktekkan pada masa khalifah pertama Abu Bakar R.A dan Umar bin Khattab. Kedua khalifah inilah pada masa kekhalifahannya yang menyerukan kembali akan larangan nikah mut’ah untuk selamanya.[6]
Dari sekian pembahasan hadis diatas dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah memang telah diharamkan oleh Rasulallah. Sebab-sebab pengharamannya telah banyak dibahas oleh ulama-ulama Sunni diantaranya :
1.      Apabila dikontekskan pada era saat ini ,Nikah mut’ah semata-mata sebagai tempat untuk melampiaskan nafsu syahwat, sehingga ada pendapat yang mengatakan bahwa nikah mut’ah tidak jauh berbeda dengan zina.
2.      Nikah mut’ah telah menempatkan perempuan pada titik berbahaya, bagaikan ibarat benda yang bisa dipesan dan kemudian dibuang.
3.      Pernikahan nikah mut’ah juga akan berdampak buruk pada anak-anak yang dilahirkan hasil dari hubungan nikah mut’ah tersebut.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dapat kembali disimpulkan bahwa Nabi Muhammad pernah menghalalkan pernikahan Mut’ah pada perang Khaibar namun setelah itu beliau mengharamkan setelahnya. Dan kejadian yang sama yaitu Nabi membolehkan Nikah Mut’ah pada saat Fathu Mekkah kemudian mengharamkan nya sampai nanti kiamat.
Latar belakang mengapa dahulu Nabi membolehkannya, yaitu karena keadaan yang mendesak dan benar-benar darurat. Dan saat itu juga Nabi segera melarang Nikah Mut’ah. Secara nyata dapat dilihat bahwa nikah Mut’ah lebih banyak membawa mudharat dari pada manfaatnya. Maka hadis yang diwayatkan oleh Imam Bukhori no 3894 tersebut telah dapat dibuktikan keshahihannya dan kontektualisasi pada realita yang ada.





























DAFTAR PUSTAKA

Marhumah “memaknai perkawinan dalam prespektif kesetaraan studi kritis hadis-hadis tentang perkawinan” (Yogyakarta : PSW UIN Sunan Kalijaga, 2009)
M. Qurais Shihab “Membumikan Al-Qur’an Jilid 2” (Jakarta : Lentera Hati, 2010)
Shaciko Murata “Lebih Jelas Tentang Mut’ah Perdebatan Sunni dan Syi’ah” (PT Raja Grafindo : Jakarta, 2001)
Pada makalah ariefta hudi fahmi  (Imam Ibnu Majjah “sembilan puluh petunjuk nabi Muhammad SAW untuk berkeluarga” ( Solo : Ramadhani, 1993)
Lidwa pusaka online.
Al-Maktabah Asy-Syamila


[1] Lidwa pusaka online.
[2]Shaciko Murata “Lebih Jelas Tentang Mut’ah Perdebatan Sunni dan Syi’ah” (PT Raja Grafindo : Jakarta, 2001) hlm 41-42.
[3]Pada makalah ariefta hudi fahmi  (Imam Ibnu Majjah “sembilan puluh petunjuk nabi Muhammad SAW untuk berkeluarga” ( Solo : Ramadhani, 1993) hlm 133)
[4]Shaciko Murata “Lebih Jelas Tentang Mut’ah Perdebatan Sunni dan Syi’ah” (PT Raja Grafindo : Jakarta, 2001) hlm 61-62

[5]Marhumah “memaknai perkawinan dalam prespektif kesetaraan studi kritis hadis-hadis tentang perkawinan” (Yogyakarta : PSW UIN Sunan Kalijaga, 2009) hlm 165-166
[6]M. Qurais Shihab “Membumikan Al-Qur’an Jilid 2” (Jakarta : Lentera Hati, 2010) hlm 163.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar