Kamis, 02 Januari 2014

ulumul Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Perekonomian adalah sebuah kegiatan yang lazim dilakukan oleh seluruh manusia. Keterlibatan manusia dalam berbagai aspek kegiatan merupakan hal yang bersifat alamiah, karena manusia lahir dan diciptakan oleh Tuhan untuk berkarya dan berimajinasi di muka bumi ini. Karenanya berbagai aktivitas menjadi sebuah warna tersendiri terhadap kehidupan manusia yang sangat rentan untuk dipisahkan darinya.
Pada mulanya manusia melaukan interaksi ekonomi secara konvensional dalam hidupnya. Mulanya kita mengenal sistem barter, yakni tukar menukar barang. Selanjutnya sistem berkembang karena barter ini sangat dirasakan memiliki kekurangan yang banyak , maka muncul uang sebagai alat transaksi yang mudah diterima. Pada perkembangannya uang juga mengalami perkembangan dari uang yang terbuat dari emas dan perak hingga yang sekarang ini kita rasakan yaitu uang kertas dan logam.
Pasca perkembangan itu perekonomian semakin berkembang, transaksi mulai berkembang sangat jauh, dari konvensional hingga begitu kompleks. Pada zaman dahulu transaksi hanya dilakukan antar muka, sekarang kita melakikan transaksi yang begitu modern, bahkan terkadang kita tak tahu dengan siapa kita bertransaksi , hal itu menunjukan saking kompleksnya sebuah transaksi yang dilakukan di era globalisasi ini.
Perkembangan tersebut dimuali sejak lahirnya suatu lembaga keuangan yakni bank. Pada asalnya bank hanya transaksi pinjam memijam dan menabunng antara nasabah dan pemilik bank. Sekarang fungsinya makin meluas meliputi segala macam dan tak terhinga banyaknya. Berbagai kemudahan ditawarkan untuk masyarakat, hingga akhirnya hampIr semua orang terlibat dengan yang namanya bank.
Berbagai tanggapan pro dan kontra mewarnai perkembangan bank itu sendiri. Sehingga hal ini memicu penglihatan semua pihak akan mendapatkan suatu kesimpulan yang benar akan hukum dari bank tersebut. Hal ini karena dalam bank kita kenal istilah bunga yang mana menurut sebagian orang adalah riba. Sehingga tak sedikit perhatian orang akan mengkaji hukum bank, dan meneliti apakah bunga bank termasuk riba atau bukan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan riba?
2.      Bagaimana Hukumnya?
3.      Apakah bunga bank termasuk riba atau bukan?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Riba dan Pembagiannya
Kata riba berasal dari bahasa Arab, yang secara etimologi berarti “Tambahan”(Ziyadah) atau kelebihan. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba adalah perbuatan mengambil harta orang lain tanpa adanya imbalan yang memadai.1)
Adapun secara istilah para ulama mendefiisikan riba sebagai bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yag berhutang(kreditur) kepada kepada orang yang berpiutang(Debitur) sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik debitur dalam jangka waktu tertentu.
Para ahli hukum islam membagi riba kedalam dua macam. Pertama, riba dalam pinjaman yaitu, bunga dalam pinjaman sebagai imbalan penangguhan waktu(Nasi’ah). Kedua, riba dalam jual beli yaitu, riba yang didasarkan pada tukar menukar barang yang sejenis , tetapi dengan timbangan dan takaran yang berbeda (fadhl).2)
Penjelasannya sebagai berikut:
1.      Riba Fadhl yaitu, melebihkan takaran atau timbangan pada jenis(Barang) yang sama, namun kualitas berbeda.
Contoh: menukar beras 5 kg dengan kualitas biasa dengan beras 3 kg yang lebih baik kualitasnya
Contoh tersebut dinamakan riba dengan alasan:
1.      Lima kg berarti melebihi tiga kg
2.      Beras berarti makanan yang ditimbang atau ditakar
3.      Jenisnya sama walaupun kualitas berbeda.
Dalam hadits dijelaskan
“Menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,syair dengan syair, kurma dengan kurma,garam dengan garam, harus sama ukurannya(Timbangannya) dan harus berhadap-hadapan. Maka barang siapa yang melebihi atau minta dilebihkan sungguh dia telah meribakan. Yang mengambil atau yang memberi sama hukumnya”(HR.Musli dalam kitab Al-Masaqat,Tirmidzi, Nasa’I, Abu Daud dan Ahmad)
2.      Riba Nasi’ah yaitu, menjual barang yang sama atau beda jenisnya dengan dilebihkan takarannya dikarenakan melebihi batas waktu yang telah ditentukan.
                               1 Nasution. Khoiruddin,” Riba dan Poligami”,(Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1996) hal.37
                                               2 Nasution. Khoiruddin,”Riba dan Poligami”, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1996) hal. 38
Contoh: membeli beras 100 kg dengan beras 200 kg dengan menunda pembayaran dari satu pihak selama 4 bulan, atau menjual 100 kg kismis dengan 200 kg kurma dengan pembayaran 2 bulan.
Contoh tersebut dikatakan riba karena:
1.      Beras dengan beras satu jenis
2.      Kismis dengan kurma berlainan jenis
3.      Adanya perbedaan takaran
4.      Adanya jangka waktu.
                                                                                                                       
B.     Hukum Riba
Untuk mengethui hukum riba, terlebih dahulu akan diuraikan ayat-ayat Al-Qur’an yang memuat kata Riba diantaranya,
1.      Al-Baqarah ayat 275
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila1). Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
2.      Al-Baqarah ayat 278-279
278”.Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”
279.Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)dianiaya.
3.  al-Imran 130-131
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat  ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
            4.An-Nisa 160-161
160.Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)  yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah
1 Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
161. dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
                5.Ar Rum ayat 39
            “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). “
Dari beberapa ayat tersebut terlihat ada yang mengharamkan riba dan ada pula yang memang mengharamkan, tetapi dengan gambaran yang masih umum. Dilihat dari priodesasinya ayat-ayat tersebut berbeda tempat turunnya, ada yang di Mekkah dan ada yang di Madinah. Dari sini terlihat ada proses penetapan hukum yang berangsur seperti proses penetapan hukum pada khamar.
Menurut para Mufassir, ayat yang pertama turun adalah Ar-Rum ayat 391). Pada ayat ini tidak ada pengharaman, namun hanya pembencian terhadap pemberian bantuan  yang mengharapkan balasan lebih. Ayat ini diturunkan di Mekkah. Tahapan kedua adalah surat An-nisa 160-161, ayat ini diturunkan di Madinah dan menjelaskan cerita orang-orang yahudi yang memakan riba. Ayat ini juga belum mengharamkan riba kepada orang islam, melainkan hanya gambaran umum. Ayat yang ketiga adalah surat Al-Imran ayat 130-131 yang diturunkan di Madinah dan masih mengharamkan riba secara parsial belum menyeluruh. Riba yang diharamkan masih yang bersifat adh’afan mudha’fah dam memberatkan peminjam, ayat ini sejajar dengan larangan shalat bagi orang yang mabuk. Ayat keempat adalah surat Al-baqarah ayat 275-279. Dengan turunnya ayat ini terutama ayat 278, seluruh bentuk riba diharamkan baik sedikit atau banyak.
 Dengan demikan meskipun ada empat penetapan hukum, disini hanya akan dijelaskan dua ayat terakhir saja , karena menjadi perdebatan di kalangan ulama. Umumnya para mufassir dengan mengutip dari Al-Thabari bahwa surat Al-baqarah 275-279 turun disebabkan pengalaman paman nabi Muhammad, Abbas bin A. Muthalib dan Khalid bin Walid yang meminjamkan uang pada orang lain dari tsaqif bani Amr sehingga keduanya mempunyai banyak harta. Riwayat lain mengatakan bahwa banu Amr ibn Umair bin Awf mengambil riba dari banu Mughairah. Apabila telah sampai waktu, maka utusan datang dan menagih. Suatu waktu mereka tidak mau membayar dan laporan sampai pada nabi Muhammad. Kemudian beliau mengatakan, ikhlaskanlah atau jika tidak, siksa yang pedih dari Alloh. Sedang surat Al imran 130-131, menurut riwayat dari “Atho” bahwa ibn Tsaqif menagih kepada banu Mughirah. Kalau tidak membayar maka ditunda dengan syarat ada tambahan.
1 Abu Sura’I Abdul Hadi,” Bunga Bank Dalam Islam”,(Al-Ikhlas, Surabaya, 1993) hal.14
Banyak juga riwayat yang menjelaskan tentang tradisi arab pra islam, mereka selalu memberi pinjaman dengan syarat ada lebih ketika mengembalikan. Semakin lama menunggak maka tambahan akan semakin banyak. Bahkan tradisi ini juga terjadi pada pinjaman berupa emas dan perak. Sehingga saat itu praktek riba sangat banyak terjadi di kalangan masyarakat.
Dari riwayat tersebut terlihat bahwa riba disini adalah riba yang pokok pinjaman bertambah dikarenakan ada penambahan waktu, baik uang ataupun benda. Penunggakan tersebut disebabkan ketidakmampuan pembayaran. Kemudian para mufassir menyebutnya dengan riba Nasi’ah. Selain itu penundaan yang terjadi juga disebabkan faktor keterpaksaan, sebab tidak mampu mengembalikan pinjaman. Masih sejalan dengan itu, dari riwayat yang dikutip di atas, selain riwayat pertama, kasus paman Nabi dan Khalid, menjadi landasan untuk menyimpulkan bahwa pinjaman disini adalah pinjaman yang sifatnya memenuhi kebutuhan( Konsumtif), dengan sendirinya dalam kasus ini ada unsur penganiayaan dan penindasan.
Dalam sunnah Nabi di jelaskan, “ Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sha’r dengan sha’r, korma dengan korma dan garam dengan garam, sebanding dan harus sama juga harus kontan. Karena itu apabila jenis-jenis ini berbeda maka juallah sekehendakmu asalkan kontan. ( HR. Muslim dari Ubadah Ash-Shamat).
Ketika membahas surat Al-Imran 130, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata Adh’afan mudha’fah. Al-Thabari menjelaskan sebagai riba yang berlipat ganda dan menjadikan sifat tersebut sebagai syarat riba. Pendapatnya dikuatkan dengan hadits yang menyatakan bahwa riba tersebut adalah riba jahiliyah. Maka menurutnya hanya riba jahiliyah yang diharamkan, sementara riba lain tidak. Dan lipat ganda tersebut baginya merupakan syarat diharamkannya riba.1)
Ketika melihat surat Al-Baqarah 275-279, beliau menjelaskan ada dua riba, yaitu riba jual beli dan riba dengan penundaan pengembalian hutang yang disertai tambahan. Menurutnya riba yang kedua ini yang diharamkan, yang mengandung tambahan karena penundaan waktu( Nasi’ah), sedang riba jual beli dihalalkan yang tambahannya tidak bertambah baik dibayar kontan ataupun kredit.(fadhl).
Al-Jashshash, dari kalangan hanafiah adalah ulama yang mengharamkan semua jenis riba. Ketika membahas surat Al-Imran 130, beliau membagi riba kedalam dua jenis, riba nasi’ah dan riba fadhl. Ia mendefinisikan keduanya sama dengan ulama lain. Namun sifat lipatan ganda disana bukan syarat haramnya riba dan membolehkan riba yang lain. Menurutnya turunnya Al-baqarah 275-279 mengharamkan semua jenis riba. Ayat tersebut menghapus ayat riba yang ada sebelumnya.2)


1 Khoiruddin Nasution,” Riba dan Poligami”,(Pstaka Pelajar, Yogyakarta,1996) hal 47
2 Khairuddin Nasution,” Riba dan Poligami”,( Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1996) hal 48
Sejalan dengan berbagai pendapat di atas, para ulama seperti Al-Qurthubi dan Al-shawkari juga mengharamkan semua jenis riba. Al maraghi menjelaskan , bahwa ada dua macam yang diharamkan dalam islam, dzatnya sendiri ataupun ada factor lain. Riba nasi’ah haram dengan dzatnya sendiri sedangkan riba fadhl haram dengan factor lain, yaitu penganiayaan yang menjadi unsure diharamakannya riba nasi’ah.
Al maraghi1) menjelaskan tentang rahasia pengharaman Riba:
1.      Menghambat seseorang dalam mengambil profesi yang sebenarnya. Contoh, orang yang ahli dalam kedokteran akan malas menekuni propesinya, karena dengan riba ia bisa mengembangkan hartanya tanpa usaha keras.
2.      Menimbulkan permusuhan
3.      Perbuatan aniaya atau dzolim
4.      Riba mengakibatkan kerusakan dan kehancuran.
Adapun maksud sifat” lipat ganda yang berlebih” adalah kelebihan dari keuntungan bukan modal. Kalau dari modal maka seseorang dikatakan riba setelah mendapatkan keuntungan yang sama dengan modal atau melebihi modal. Sebaliknya, jika dari keuntungan maka laba 1% atau 2%sudah dikatakan riba. Sebab jika terjadi penangguhan terus menerus, akhirnya keuntungan bisa sama atau melebihi modal. Jadi hakekat pengharaman riba bukan karena lipat gandanya keuntungan melainkan adanya ganti rugi terhadap penangguhan hutang.

C. Riba dan bunga bank
Permasalahan yang muncul ketika riba diharamkan adalah masalah mengenai bunga bank. Secara kesat mata, riba memang memiliki persamaan dengan bunga bank. Pada bagian ini, akan diuraikan pandangan mengenai hukum bunga bank disertai penjelasan tentang hubungannya dengan riba. Masalah pokoknya adalah apakah bunga bank termasuk riba atau bukan.
Sebelum pada pembahasan, sedikit akan dijelaskan mengenai bunga bank. Bunga bank adalah keuntungan (hasil lebih) yang diterima bank sebagai hasil kerjanya dalam mengelola uang dari debitur kepada kreditur. Selanjutnya bunga tersebut akan digunakan untuk berbagai kebutuhan bank. Selain itu sebagai balasan jasa, bunga tersebut juga diberikan kepada debitur sebagai upah karena telah menginvestasikan sejumlah uang. Bunga atau keuntungan tersebut diambil dari kreditur sebagai balasan karena telah menggunakan  sejumlah uang dari bank.




1 Mushthafa Al-maraghi, penulis tafsir Al-maraghi
1.      Pendapat Yang Membolehkan Bunga Bank
Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abduh, seorang pembaharu. Pada Tafsirnya Abduh mengharamkan riba, namun pada fatwanya beliau membolehkan menabung serta mengambil bunga bank dengan alasan masalah mursalah(kesejahtraan). Alasan riba diharamkan ketika ia membuat kerugian atau terjadi eksploitasi terhadap harta orang lain. Hal ini sesuai dengan surat Al-baqarah 188,”  dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil ,dan janganah kamu membawa urusan harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.”
Bunga Bank, tidak mengandung pemerasan dan tidak ada persamaannya dengan apa yang diharamkan Al-Qur’an. Riba yang diharamkan hanya riba Jahiliyyah dan bukan riba yang lain. Bahkan bunga bank tidak termasuk riba. Baginya, bunga bank tidak merugikan melainkan menguntungkan. Peminjam akan merasa terbantu dan bisa mengembangkan usaha. Penabungpun demikian. Dengan kata lain, mua’malah yang benar adalah mu’amalah uang menguntungkan dan memberikan bantuan kepada orang lain. Alasan lain, tentang kebolehan bunga bank, karena dengan dana tabungan perekonomian akan semakin maju. Alasan tambahan bahwa pada hakikatnya menyimpan uang di bank sama dengan pengkorsian dalam piqih islam( Mudharabah). Dengan demikian mengguakan jasa bank sama saja dengan mudharabah, dan hal ini tentu tidak dilarang Alloh SWT.1)
Ringkasnya ada tiga pokok dalam menghalalkan bunga bank. Pertama, keberadaan bank tidak menciptakan penindasan, melainkan membantu. Kedua, menyimpan uang di bank sama dengan perkongsian dalam bentuk lain( mudharabah secara tak langsung). Ketiga, mendorong perkembangan perekonomian dan kemajuan di segala bidang.
2.      Pendapat Yang Mengharamkan Bunga Bank
Sebagai mana kita ketahui bahwa masalah ini adalah ijtihadi dan tidak ada satu kesepakatan yang sama dari berbagai pemikir dan ulama. Kalangan ulama yang mengharamkan bunga bank salah satunya adalah  Yusuf Al-Qardawi. Menurutnya bunga bank termasuk riba, maka bunga tersebut haram diambil oleh penabung, dan otomatis pihak bank juga haram mengambil bunga dari peminjamnya. Menurutnnya bahwa riba adalah penindasan dan kekejian, maka tetap haram dalam kondisi apapun.2)
Menurut Muhammad Nejatulloh Siddiqi, bahwa sistem mudharabah dalam bank itu tidak jelas. Pihak bank tidak akan mengalami kerugian walaupun peminjam rugi. Maka ia menyarankan akan perubahan bank secara umum menuju bank islam. Ia berpendapat bahwa bank umum malah membawa keburukan seperti inflasi dll.
1skripsi , Idan hermnto,”Riba dan Bunga Bank dalam Perspektif hukum Islam”,( Yogyakarta 2007) hal.93 2) hal. 85
Menurutnya pula bahwa  minimal ada dua hal buruk dari diterapkannya sistem bunga bank. Pertama , investor mengalami ketidak pastian. Sebab hasil usahanyatidak bisa diramalkan secara pasti . sementara bunga bank harus dibayar terus menerus tanpa memandang apakah usahanya mengalami kerugian atau kemunduran. Kedua, biaya produksi akan naik karena harus ada bunga yang dibayarkan oleh pihak pengusaha(peminjam) dan pihak bank tidak mau tahu akan itu.
Selain itu beberapa alasan lain mengenai haramnya bunga bank meliputi, pinjaman hanya diberikan kepada pihak yang mempunyai jaminan tinggi, pihak peminjam akan terpojok keran mempunyai tanggungan, tidak meratanya sistem pendapatan dikarenakan masih bimbang antara berhasil atau tidak, pihak bank tidak membedakan mana konsumtif mana produktif.
3.      Pendapat Yang Menghalalkan Dengan Alasan Darurat.
Hal ini dikemukakan oleh Abd Al-Razaq Sanhuri, seorang pemikir kontemporer Mesir di bidang hukum islam. Beliau mengungkapkan bahwa riba nasi’ah dan fadhl diperbolehkan dalam keadaan darurat dan sangat membutuhkan. Sejalan dengan itu Daoualibi mengatakan bahwa islam seharusnya membedakan mana konsumtif dan mana yang produktif. Dalam masalah konsumtif semua didasarkan pada prinsip tolong menolong, sedangkan pada produktif didasarkan pada sistem mudharabah.

Mengenai  sitem bunga bank pada bank syari’ah , sebagai mana telah kita ketahui bahwa bank syari’ah menggunakan sistem mudharabah dalam menamakan sistem kerjanya. Namun pada hakikatnya, sistem pemberian bunga dan penarikan bunga pada bank tersebut sama layaknya seperti bank umum, perbedaan hanya terletak pada sistem akad. Pada bank umum, sistem akad adalah jual beli, namun pada bank syariah akad berdasarkan tolong menolong dengan prinsip mudharabah antara pihak kreditur dan debitur serta pihak bank sebagai perantaranya.



BAB III
PENUTUP

Dari berbagai pandangan yang menjelaskan tentang  hukum riba. Mayoritas ahli hukum sepakat bahwa hukum riba adalah haram. Keharamannya terletak pada akibat riba yang menimbulkan kemadaratan akan kehidupan manusia. Namun pada riba fadhl masih terdapat kontroversi tentang pengharamannya. Namun bisa kita ambil kesimpulan bahwa riba memang haram.
Mengenai bunga ank apakah riba atau bukan, hal ini juga mengandung kontroversi. Pendapat yang mengatakan riba termasuk bunga bank disebabkan karena adanya ketidakjelasan dalam sistemnya serta hanya melihat substansi dari bunga tersebut. Adapun pendapat yang membolehkan(menghalalkan) berpandangan bahwa keberadaan bank saat ini memang bermanpaat bagi kehidupan. Riba pada jaman dahulu berbeda dengan yang terjadi sekarang. Bahkan saat ini lembaga bank sangat sulit dipisahkan dari kehidupan manusia.
Adapun pendapat pemakalah lebih cenderung pro terhadap pendapat yang menghalalkan. Hal terebut melihat pada manfaat yang dirasakan dari bank sebagai kemaslahatan yang menunjang tingginya perekonomian serta kemudahan akses yang ditawarkan. Dengan adanya bank, kita merasa terbantu dan merasa aman karena transaksi benar-benar terjaga dengan baik.




DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Abu Sura’I Abdul.1993. Bunga Bank Dalam Islam. Surabaya; Al-ikhlas.
Nasution, Khoiruddin. 1996. Riba dan Poligami. Yogyakarta; Pustaka pelajar
Hermanto, Idan. 2007. Riba dan Bunga Bank dalam Perspektif Hukum Islam. Yogyakarta;skripsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar