BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perekonomian adalah sebuah kegiatan yang lazim dilakukan oleh
seluruh manusia. Keterlibatan manusia dalam berbagai aspek kegiatan merupakan
hal yang bersifat alamiah, karena manusia lahir dan diciptakan oleh Tuhan untuk
berkarya dan berimajinasi di muka bumi ini. Karenanya berbagai aktivitas
menjadi sebuah warna tersendiri terhadap kehidupan manusia yang sangat rentan
untuk dipisahkan darinya.
Pada mulanya manusia melaukan interaksi
ekonomi secara konvensional dalam hidupnya. Mulanya kita mengenal sistem
barter, yakni tukar menukar barang. Selanjutnya sistem berkembang karena barter
ini sangat dirasakan memiliki kekurangan yang banyak , maka muncul uang sebagai
alat transaksi yang mudah diterima. Pada perkembangannya uang juga mengalami
perkembangan dari uang yang terbuat dari emas dan perak hingga yang sekarang
ini kita rasakan yaitu uang kertas dan logam.
Pasca perkembangan itu perekonomian semakin
berkembang, transaksi mulai berkembang sangat jauh, dari konvensional hingga
begitu kompleks. Pada zaman dahulu transaksi hanya dilakukan antar muka,
sekarang kita melakikan transaksi yang begitu modern, bahkan terkadang kita tak
tahu dengan siapa kita bertransaksi , hal itu menunjukan saking kompleksnya
sebuah transaksi yang dilakukan di era globalisasi ini.
Perkembangan tersebut dimuali sejak lahirnya
suatu lembaga keuangan yakni bank. Pada asalnya bank hanya transaksi pinjam
memijam dan menabunng antara nasabah dan pemilik bank. Sekarang fungsinya makin meluas meliputi segala macam dan tak
terhinga banyaknya. Berbagai kemudahan ditawarkan untuk masyarakat, hingga
akhirnya hampIr semua orang terlibat dengan yang namanya bank.
Berbagai tanggapan pro dan kontra mewarnai perkembangan bank itu
sendiri. Sehingga hal ini memicu penglihatan semua pihak akan mendapatkan suatu
kesimpulan yang benar akan hukum dari bank tersebut. Hal ini karena dalam bank
kita kenal istilah bunga yang mana menurut sebagian orang adalah riba. Sehingga
tak sedikit perhatian orang akan mengkaji hukum bank, dan meneliti apakah bunga
bank termasuk riba atau bukan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan riba?
2.
Bagaimana
Hukumnya?
3.
Apakah
bunga bank termasuk riba atau bukan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Riba dan Pembagiannya
Kata riba berasal dari bahasa Arab, yang
secara etimologi berarti “Tambahan”(Ziyadah) atau kelebihan. Ada
pendapat lain yang mengatakan bahwa riba adalah perbuatan mengambil harta orang
lain tanpa adanya imbalan yang memadai.1)
Adapun secara istilah para ulama mendefiisikan
riba sebagai bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yag
berhutang(kreditur) kepada kepada orang yang berpiutang(Debitur) sebagai
imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik debitur dalam jangka waktu
tertentu.
Para ahli hukum islam membagi riba kedalam dua
macam. Pertama, riba dalam pinjaman yaitu, bunga dalam pinjaman sebagai imbalan
penangguhan waktu(Nasi’ah). Kedua, riba dalam jual beli yaitu, riba yang
didasarkan pada tukar menukar barang yang sejenis , tetapi dengan timbangan dan
takaran yang berbeda (fadhl).2)
Penjelasannya sebagai berikut:
1.
Riba
Fadhl yaitu, melebihkan takaran atau timbangan pada jenis(Barang) yang sama,
namun kualitas berbeda.
Contoh: menukar beras 5 kg dengan kualitas
biasa dengan beras 3 kg yang lebih baik kualitasnya
Contoh tersebut dinamakan riba dengan alasan:
1.
Lima
kg berarti melebihi tiga kg
2.
Beras
berarti makanan yang ditimbang atau ditakar
3.
Jenisnya
sama walaupun kualitas berbeda.
Dalam hadits dijelaskan
“Menjual emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum,syair dengan syair, kurma dengan kurma,garam dengan garam,
harus sama ukurannya(Timbangannya) dan harus berhadap-hadapan. Maka barang
siapa yang melebihi atau minta dilebihkan sungguh dia telah meribakan. Yang
mengambil atau yang memberi sama hukumnya”(HR.Musli dalam kitab
Al-Masaqat,Tirmidzi, Nasa’I, Abu Daud dan Ahmad)
2.
Riba Nasi’ah yaitu, menjual barang yang sama
atau beda jenisnya dengan dilebihkan takarannya dikarenakan melebihi batas
waktu yang telah ditentukan.
1 Nasution.
Khoiruddin,” Riba dan Poligami”,(Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1996) hal.37
2
Nasution. Khoiruddin,”Riba dan Poligami”, (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta,1996) hal. 38
Contoh: membeli beras 100 kg dengan beras 200 kg dengan menunda pembayaran
dari satu pihak selama 4 bulan, atau menjual 100 kg kismis dengan 200 kg kurma
dengan pembayaran 2 bulan.
Contoh tersebut
dikatakan riba karena:
1.
Beras
dengan beras satu jenis
2.
Kismis
dengan kurma berlainan jenis
3.
Adanya
perbedaan takaran
4.
Adanya
jangka waktu.
B.
Hukum
Riba
Untuk mengethui hukum riba, terlebih dahulu akan diuraikan
ayat-ayat Al-Qur’an yang memuat kata Riba diantaranya,
1.
Al-Baqarah
ayat 275
”Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila1). Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya."
2.
Al-Baqarah
ayat 278-279
278”.Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”
279. “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula)dianiaya. “
3. al-Imran 130-131
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.”
4.An-Nisa 160-161
160.Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah
1 Maksudnya: orang yang mengambil riba
tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
161. dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
5.Ar Rum ayat
39
“Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). “
Dari beberapa
ayat tersebut terlihat ada yang mengharamkan riba dan ada pula yang memang
mengharamkan, tetapi dengan gambaran yang masih umum. Dilihat dari
priodesasinya ayat-ayat tersebut berbeda tempat turunnya, ada yang di Mekkah
dan ada yang di Madinah. Dari sini terlihat ada proses penetapan hukum yang
berangsur seperti proses penetapan hukum pada khamar.
Menurut para
Mufassir, ayat yang pertama turun adalah Ar-Rum ayat 391). Pada ayat
ini tidak ada pengharaman, namun hanya pembencian terhadap pemberian
bantuan yang mengharapkan balasan lebih.
Ayat ini diturunkan di Mekkah. Tahapan kedua adalah surat An-nisa 160-161, ayat
ini diturunkan di Madinah dan menjelaskan cerita orang-orang yahudi yang
memakan riba. Ayat ini juga belum mengharamkan riba kepada orang islam,
melainkan hanya gambaran umum. Ayat yang ketiga adalah surat Al-Imran ayat
130-131 yang diturunkan di Madinah dan masih mengharamkan riba secara parsial
belum menyeluruh. Riba yang diharamkan masih yang bersifat adh’afan
mudha’fah dam memberatkan peminjam, ayat ini sejajar dengan larangan shalat
bagi orang yang mabuk. Ayat keempat adalah surat Al-baqarah ayat 275-279.
Dengan turunnya ayat ini terutama ayat 278, seluruh bentuk riba diharamkan baik
sedikit atau banyak.
Dengan demikan
meskipun ada empat penetapan hukum, disini hanya akan dijelaskan dua ayat
terakhir saja , karena menjadi perdebatan di kalangan ulama. Umumnya para
mufassir dengan mengutip dari Al-Thabari bahwa surat Al-baqarah 275-279 turun
disebabkan pengalaman paman nabi Muhammad, Abbas bin A. Muthalib dan Khalid bin
Walid yang meminjamkan uang pada orang lain dari tsaqif bani Amr sehingga
keduanya mempunyai banyak harta. Riwayat lain mengatakan bahwa banu Amr ibn
Umair bin Awf mengambil riba dari banu Mughairah. Apabila telah sampai waktu, maka
utusan datang dan menagih. Suatu waktu mereka tidak mau membayar dan laporan
sampai pada nabi Muhammad. Kemudian beliau mengatakan, ikhlaskanlah atau jika
tidak, siksa yang pedih dari Alloh. Sedang surat Al imran 130-131, menurut
riwayat dari “Atho” bahwa ibn Tsaqif menagih kepada banu Mughirah. Kalau tidak
membayar maka ditunda dengan syarat ada tambahan.
1 Abu Sura’I Abdul Hadi,” Bunga Bank Dalam
Islam”,(Al-Ikhlas, Surabaya, 1993) hal.14
Banyak juga
riwayat yang menjelaskan tentang tradisi arab pra islam, mereka selalu memberi
pinjaman dengan syarat ada lebih ketika mengembalikan. Semakin lama menunggak
maka tambahan akan semakin banyak. Bahkan tradisi ini juga terjadi pada
pinjaman berupa emas dan perak. Sehingga saat itu praktek riba sangat banyak terjadi
di kalangan masyarakat.
Dari riwayat
tersebut terlihat bahwa riba disini adalah riba yang pokok pinjaman bertambah
dikarenakan ada penambahan waktu, baik uang ataupun benda. Penunggakan tersebut
disebabkan ketidakmampuan pembayaran. Kemudian para mufassir menyebutnya dengan
riba Nasi’ah. Selain itu penundaan yang terjadi juga disebabkan faktor
keterpaksaan, sebab tidak mampu mengembalikan pinjaman. Masih sejalan dengan
itu, dari riwayat yang dikutip di atas, selain riwayat pertama, kasus paman
Nabi dan Khalid, menjadi landasan untuk menyimpulkan bahwa pinjaman disini
adalah pinjaman yang sifatnya memenuhi kebutuhan( Konsumtif), dengan sendirinya
dalam kasus ini ada unsur penganiayaan dan penindasan.
Dalam sunnah Nabi
di jelaskan, “ Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
sha’r dengan sha’r, korma dengan korma dan garam dengan garam, sebanding dan
harus sama juga harus kontan. Karena itu apabila jenis-jenis ini berbeda maka
juallah sekehendakmu asalkan kontan. ( HR. Muslim dari Ubadah Ash-Shamat).
Ketika membahas surat Al-Imran 130, para ulama berbeda pendapat dalam
menafsirkan kata Adh’afan mudha’fah. Al-Thabari menjelaskan sebagai riba
yang berlipat ganda dan menjadikan sifat tersebut sebagai syarat riba.
Pendapatnya dikuatkan dengan hadits yang menyatakan bahwa riba tersebut adalah
riba jahiliyah. Maka menurutnya hanya riba jahiliyah yang diharamkan, sementara
riba lain tidak. Dan lipat ganda tersebut baginya merupakan syarat
diharamkannya riba.1)
Ketika melihat
surat Al-Baqarah 275-279, beliau menjelaskan ada dua riba, yaitu riba jual beli
dan riba dengan penundaan pengembalian hutang yang disertai tambahan.
Menurutnya riba yang kedua ini yang diharamkan, yang mengandung tambahan karena
penundaan waktu( Nasi’ah), sedang riba jual beli dihalalkan yang tambahannya
tidak bertambah baik dibayar kontan ataupun kredit.(fadhl).
Al-Jashshash,
dari kalangan hanafiah adalah ulama yang mengharamkan semua jenis riba. Ketika
membahas surat Al-Imran 130, beliau membagi riba kedalam dua jenis, riba
nasi’ah dan riba fadhl. Ia mendefinisikan keduanya sama dengan ulama lain.
Namun sifat lipatan ganda disana bukan syarat haramnya riba dan membolehkan
riba yang lain. Menurutnya turunnya Al-baqarah 275-279 mengharamkan semua jenis
riba. Ayat tersebut menghapus ayat riba yang ada sebelumnya.2)
1 Khoiruddin Nasution,” Riba dan Poligami”,(Pstaka Pelajar,
Yogyakarta,1996) hal 47
2 Khairuddin Nasution,” Riba dan Poligami”,( Pustaka
Pelajar, Yogyakarta,1996) hal 48
Sejalan dengan
berbagai pendapat di atas, para ulama seperti Al-Qurthubi dan Al-shawkari juga
mengharamkan semua jenis riba. Al maraghi menjelaskan , bahwa ada dua macam
yang diharamkan dalam islam, dzatnya sendiri ataupun ada factor lain. Riba
nasi’ah haram dengan dzatnya sendiri sedangkan riba fadhl haram dengan factor
lain, yaitu penganiayaan yang menjadi unsure diharamakannya riba nasi’ah.
Al maraghi1)
menjelaskan tentang rahasia pengharaman Riba:
1.
Menghambat seseorang dalam mengambil profesi yang sebenarnya.
Contoh, orang yang ahli dalam kedokteran akan malas menekuni propesinya, karena
dengan riba ia bisa mengembangkan hartanya tanpa usaha keras.
2.
Menimbulkan permusuhan
3.
Perbuatan aniaya atau dzolim
4.
Riba mengakibatkan kerusakan dan kehancuran.
Adapun maksud sifat” lipat ganda yang berlebih” adalah kelebihan dari
keuntungan bukan modal. Kalau dari modal maka seseorang dikatakan riba setelah
mendapatkan keuntungan yang sama dengan modal atau melebihi modal. Sebaliknya,
jika dari keuntungan maka laba 1% atau 2%sudah dikatakan riba. Sebab jika
terjadi penangguhan terus menerus, akhirnya keuntungan bisa sama atau melebihi
modal. Jadi hakekat pengharaman riba bukan karena lipat gandanya keuntungan
melainkan adanya ganti rugi terhadap penangguhan hutang.
C. Riba dan bunga bank
Permasalahan yang muncul ketika riba
diharamkan adalah masalah mengenai bunga bank. Secara kesat mata, riba memang
memiliki persamaan dengan bunga bank. Pada bagian ini, akan diuraikan pandangan
mengenai hukum bunga bank disertai penjelasan tentang hubungannya dengan riba.
Masalah pokoknya adalah apakah bunga bank termasuk riba atau bukan.
Sebelum pada pembahasan, sedikit akan
dijelaskan mengenai bunga bank. Bunga bank adalah keuntungan (hasil lebih) yang
diterima bank sebagai hasil kerjanya dalam mengelola uang dari debitur kepada kreditur.
Selanjutnya bunga tersebut akan digunakan untuk berbagai kebutuhan bank. Selain
itu sebagai balasan jasa, bunga tersebut juga diberikan kepada debitur sebagai
upah karena telah menginvestasikan sejumlah uang. Bunga atau keuntungan
tersebut diambil dari kreditur sebagai balasan karena telah menggunakan sejumlah uang dari bank.
1 Mushthafa Al-maraghi, penulis tafsir Al-maraghi
1.
Pendapat
Yang Membolehkan Bunga Bank
Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abduh, seorang pembaharu.
Pada Tafsirnya Abduh mengharamkan riba, namun pada fatwanya beliau membolehkan
menabung serta mengambil bunga bank dengan alasan masalah
mursalah(kesejahtraan). Alasan riba diharamkan ketika ia membuat kerugian atau
terjadi eksploitasi terhadap harta orang lain. Hal ini sesuai dengan surat
Al-baqarah 188,” dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
batil ,dan janganah kamu membawa urusan harta itu
kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta orang lain itu dengan
jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.”
Bunga Bank, tidak mengandung pemerasan dan
tidak ada persamaannya dengan apa yang diharamkan Al-Qur’an. Riba yang
diharamkan hanya riba Jahiliyyah dan bukan riba yang lain. Bahkan bunga bank
tidak termasuk riba. Baginya, bunga bank tidak merugikan melainkan
menguntungkan. Peminjam akan merasa terbantu dan bisa mengembangkan usaha.
Penabungpun demikian. Dengan kata lain, mua’malah yang benar adalah mu’amalah
uang menguntungkan dan memberikan bantuan kepada orang lain. Alasan lain,
tentang kebolehan bunga bank, karena dengan dana tabungan perekonomian akan
semakin maju. Alasan tambahan bahwa pada hakikatnya menyimpan uang di bank sama
dengan pengkorsian dalam piqih islam( Mudharabah). Dengan demikian
mengguakan jasa bank sama saja dengan mudharabah, dan hal ini tentu
tidak dilarang Alloh SWT.1)
Ringkasnya ada tiga pokok dalam menghalalkan
bunga bank. Pertama, keberadaan bank tidak menciptakan penindasan, melainkan
membantu. Kedua, menyimpan uang di bank sama dengan perkongsian dalam bentuk
lain( mudharabah secara tak langsung). Ketiga,
mendorong perkembangan perekonomian dan kemajuan di segala bidang.
2.
Pendapat
Yang Mengharamkan Bunga Bank
Sebagai mana kita ketahui bahwa masalah ini adalah ijtihadi
dan tidak ada satu kesepakatan yang sama dari berbagai pemikir dan ulama.
Kalangan ulama yang mengharamkan bunga bank salah satunya adalah Yusuf Al-Qardawi. Menurutnya bunga bank
termasuk riba, maka bunga tersebut haram diambil oleh penabung, dan otomatis
pihak bank juga haram mengambil bunga dari peminjamnya. Menurutnnya bahwa riba
adalah penindasan dan kekejian, maka tetap haram dalam kondisi apapun.2)
Menurut
Muhammad Nejatulloh Siddiqi, bahwa sistem mudharabah dalam bank itu
tidak jelas. Pihak bank tidak akan mengalami kerugian walaupun peminjam rugi.
Maka ia menyarankan akan perubahan bank secara umum menuju bank islam. Ia
berpendapat bahwa bank umum malah membawa keburukan seperti inflasi dll.
1skripsi , Idan hermnto,”Riba dan Bunga Bank dalam Perspektif hukum
Islam”,( Yogyakarta 2007) hal.93 2) hal. 85
Menurutnya pula bahwa
minimal ada dua hal buruk dari diterapkannya sistem bunga bank. Pertama
, investor mengalami ketidak pastian. Sebab hasil usahanyatidak bisa diramalkan
secara pasti . sementara bunga bank harus dibayar terus menerus tanpa memandang
apakah usahanya mengalami kerugian atau kemunduran. Kedua, biaya produksi akan
naik karena harus ada bunga yang dibayarkan oleh pihak pengusaha(peminjam) dan
pihak bank tidak mau tahu akan itu.
Selain itu beberapa alasan lain mengenai haramnya bunga bank
meliputi, pinjaman hanya diberikan kepada pihak yang mempunyai jaminan tinggi,
pihak peminjam akan terpojok keran mempunyai tanggungan, tidak meratanya sistem
pendapatan dikarenakan masih bimbang antara berhasil atau tidak, pihak bank
tidak membedakan mana konsumtif mana produktif.
3.
Pendapat
Yang Menghalalkan Dengan Alasan Darurat.
Hal ini dikemukakan oleh Abd Al-Razaq Sanhuri, seorang pemikir
kontemporer Mesir di bidang hukum islam. Beliau mengungkapkan bahwa riba
nasi’ah dan fadhl diperbolehkan dalam keadaan darurat dan sangat membutuhkan.
Sejalan dengan itu Daoualibi mengatakan bahwa islam seharusnya membedakan mana
konsumtif dan mana yang produktif. Dalam masalah konsumtif semua didasarkan
pada prinsip tolong menolong, sedangkan pada produktif didasarkan pada sistem mudharabah.
Mengenai sitem bunga bank
pada bank syari’ah , sebagai mana telah kita ketahui bahwa bank syari’ah
menggunakan sistem mudharabah dalam menamakan sistem kerjanya. Namun
pada hakikatnya, sistem pemberian bunga dan penarikan bunga pada bank tersebut
sama layaknya seperti bank umum, perbedaan hanya terletak pada sistem akad.
Pada bank umum, sistem akad adalah jual beli, namun pada bank syariah akad
berdasarkan tolong menolong dengan prinsip mudharabah antara pihak
kreditur dan debitur serta pihak bank sebagai perantaranya.
BAB III
PENUTUP
Dari berbagai pandangan yang menjelaskan tentang hukum riba. Mayoritas ahli hukum sepakat
bahwa hukum riba adalah haram. Keharamannya terletak pada akibat riba yang
menimbulkan kemadaratan akan kehidupan manusia. Namun pada riba fadhl masih terdapat kontroversi
tentang pengharamannya. Namun bisa kita ambil kesimpulan bahwa riba memang
haram.
Mengenai bunga ank apakah riba atau bukan, hal
ini juga mengandung kontroversi. Pendapat yang mengatakan riba termasuk bunga
bank disebabkan karena adanya ketidakjelasan dalam sistemnya serta hanya
melihat substansi dari bunga tersebut. Adapun pendapat yang
membolehkan(menghalalkan) berpandangan bahwa keberadaan bank saat ini memang
bermanpaat bagi kehidupan. Riba pada jaman dahulu berbeda dengan yang terjadi
sekarang. Bahkan saat ini lembaga bank sangat sulit dipisahkan dari kehidupan
manusia.
Adapun pendapat pemakalah lebih cenderung pro terhadap pendapat
yang menghalalkan. Hal terebut melihat pada manfaat yang dirasakan dari bank
sebagai kemaslahatan yang menunjang tingginya perekonomian serta kemudahan
akses yang ditawarkan. Dengan adanya bank, kita merasa terbantu dan merasa aman karena transaksi
benar-benar terjaga dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Abu Sura’I Abdul.1993. Bunga
Bank Dalam Islam. Surabaya; Al-ikhlas.
Nasution, Khoiruddin. 1996. Riba
dan Poligami. Yogyakarta; Pustaka pelajar
Hermanto, Idan. 2007. Riba
dan Bunga Bank dalam Perspektif Hukum Islam.
Yogyakarta;skripsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar