Kamis, 02 Januari 2014

ulumul Qur'an 2

BAB II
PEMBAHASAN

1.      Surat Ar-Ra’d ayat 11

لَهُۥمُعَقِّبَٰتٌمِّنۢبَيْنِيَدَيْهِوَمِنْخَلْفِهِۦيَحْفَظُونَهُۥمِنْأَمْرِٱللَّهِإِنَّٱللَّهَلَايُغَيِّرُمَابِقَوْمٍحَتَّىٰيُغَيِّرُوا۟مَابِأَنفُسِهِمْوَإِذَآأَرَادَٱللَّهُبِقَوْمٍسُوٓءًافَلَامَرَدَّلَهُۥوَمَالَهُممِّندُونِهِۦمِنوَالٍ
Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Tafsir mufradat :
لَهُۥمُعَقِّبَٰتٌ : Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran
يَحْفَظُونَهُۥ : Mereka menjaganya
لَايُغَيِّرُ : tidak akan mengubah
قَوْمٍ    : suatu kaum
سُوٓءًا : keburukan
فَلَامَرَدَّ : maka tak ada yang dapat menolaknya
Tafsir ayat :
Tafsir ayat: al-Mu’aqqibatadalah bentuk dari jama’ al-Mu’aqqibah, kata tersebut terambil dari kata ‘aqib yaitu tumit. kata tersebut dapat dipahami dalam arti mengikuti seakan-akan yang mengikuti itu meletakkan tumitnya ditempat tumit yang diikutinya. Kata yang digunakan disini juga mengandung makna penekananan. Yang dimaksud adalah ,malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah mengikuti setiap orang secara sungguh-sungguh.
Kata yahfazhunahu/memelihara dapat dipahami dalam arti mengawasi manusia dalam setiap gerak langkahnya, baik ketika dia bersembunyi maupun saat persembunyiannya. Kata bi amr Allah dipahami oleh banyak ulama dalam arti atas perintah Allah. Thabathaba’i memahaminya dalam arti lebih luas. Ulama ini terlebih dahulu menggarisbawahi bahwa manusia bukan sekedar jasmani, tetapi dia adalah makhluk ruhani dan jasmani yang terpokok dalam segala persoalannya adalah sisi dalamnya yang memuat perasaan dan kehendaknya. Inilah yang terarah kepadanya perintah dan larangan, dan atas dasarnya sanksi dan ganjaran dijatuhkan, demikian juga kenyamanan dan kepdihan serta kebahagiaan dan kesengsaraan. Dari sanalah lahir amal baik atau buruk dan kepadanya ditujukan sifat iman dan kufur, walaupun harus diakui bahwa badan adalah alat yang digunakannya untuk meraih tujuan dan maksud-maksudnya.
sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka” dalam arti bahwa Allah menjadikan para Mu’aqibat itu melakukan apa yang ditugaskan kepadanya yaitu memelihara manusia, sebagaimana Allah telah menetapkan bahwa Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka, yakni kondisi kejiwaan/sisi dalam mereka, seperti mengubah kesyukuran menjadi kekufuran, ketaatan menjadi kedurhakaan, iman menjadi penyekutuan Allah, dan ketika itu Allah akan mengubah nikmat  menjadi niqmat (bencana), hidayah menjadi kesesatan, kebahagiaan menjadi kesengsaraan, dan seterusnya.
Dari kata qaum yang berarti masyarakat, bahwa suatu perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seseorang manusia saja. Juga menunjukkan bahwa kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras dan agama tertentu tetapi ia berlaku umum kapan dan dimanapun ia berada. Dan kaitan pembahasan kaum ini berkaitan dengan kehidupan duniawi bukan ukhrawi. Ma bi anfusihim apa yang terdapat dalam diri mereka, dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka.
“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya” Yakni tidak ada kekuatan pun yang dapat menghalangi berlakunya ketentuan sunnatullah itu. penggalan ini menguatkan sekali hakikat yang berulang-ulang ditegaskan oleh Al-Qur’an bahwa segala sesuatu kembali kepada pengaturan Allah dan kehendak-Nya.
Ayat di atas juga menerangkan bahwa disamping meletakkan tanggung jawab yang besar terhadap manusia karena darinya dipahami bahwa kehendak Allah atas manusia yang telah Dia tetapkan melalui sunnah-sunnah Nya berkaitan erat dengan kehendak dan sikap manusia. Ayat ini menegaskan yang dilakukan Allah atas manusia tidak akan terjadi sebelum manusia terlebih dahulu melangkah. Demikian sikap dan kehendak manusia menjadi “syarat” yang mendahului perbuatan Allah SWT. Sungguh ini merupakan penghormatan yang luar biasa.[1]
Selanjutnya tafsir ayat diatas pada kitab tafsir Al-Aisar, “bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran dimuka dan dibelakngnya, mereka menjaganya atas perintah Allah..” dhamir nya kembali pada Allah Ta’ala maka maksudnya adalah diantara yang mengikuti adalah malaikat penjaga dan penulis kebaikan dan keburukan maka makna “atas perintah Allah” adalah atas perintah Allah dan izin-Nya. Pendapat tersebut dipegang oleh Jumhur mufassirin.
sesungguhnya Allah tidak  merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..” Allah Ta’ala mengabarkan tentang salah satu diantara sunnah-sunnah-Nya yang terjadi pada makhluk, yaitu sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menghilangkan nikmat yang telah Allah berikan kepada suatu kaum berupa keselamatan, keamanan dan kesejahteraan sebab keimanan dan amal baik mereka sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri berupa kemurnian, dan kesucian akibat melakukan dosa-dosa yang bergelimang dengan kemaksiatan sebagai hasil dari berpalingnya mereka dari kitab Allah, melalaikan syari’at-Nya, membatalkan hukum-hukum, tenggelam dalam nafsu syahwat dan juga menempuh jalan kesesatan. “dan apabila Allah menghendaki keburukan suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali ada pelindung bagi mereka selain Dia.” Bahwa jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum, seseorang atau kelompok tertentu yang dapat memperburuk keadaan mereka berupa cobaan atau siksaan maka tidak ada yang dapat menolaknya dalam kondisi apapun bahkan itu semua harus mereka rasakan. Dan juga mereka tidak mendapatkan pelindung yang dapat mencegahnya azab dari  mereka selain Allah, tetapi jika mereka kembali kepada-Nya, meminta ampun dan bertaubat maka niscaya akan dihilangkan dari mereka keburukan dan dipalingkan azab dari mereka.[2]
Mengenai asbabun nuzul dari ayat diatas, penulis belum menemukannya.
2.      Surat Ar-Rum ayat 22

وَمِنْءَايَٰتِهِۦخَلْقُٱلسَّمَٰوَٰتِوَٱلْأَرْضِوَٱخْتِلَٰفُأَلْسِنَتِكُمْوَأَلْوَٰنِكُمْإِنَّفِىذَٰلِكَلَءَايَٰتٍلِّلْعَٰلِمِي
Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
Tafsir Mufradat :
وَمِنْءَايَٰتِهِۦ : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya
ٱلسَّمَٰوَٰتِوَٱلْأَرْضِ : langit dan bumi
أَلْسِنَتِكُمْوَأَلْوَٰنِكُمْ : bahasamu dan warna kulitmu
Tafsir ayat :
Surat Ar-Rum pada ayat 22 di atas penafsirannya masih terhubung dengan ayat sebelumnya yaitu yang menjelaskan tentang bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Allah. Adanya persamaan antara pria dengan langit dan wanita dengan bumi. Dari langit turun hujan yang ditampung oleh bumi sehingga lahirlah tumbuhan, demikian juga pasangan suami istri. Dalam ayat 22 disebutkan  bahwa diantara tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah adalah penciptaan langit yang bertingkat-tingkat dan bumi. Semua dengan sistemnya yang sangat teliti, rapi dan serasi. Serta kamu juga dapat mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah melalui pengamatan terhadap perbedaan lidah kamu, seperti perbedaan bahasa, dialek, dan intonasi. Dan juga perbedaan warna kulit kamu, ada yang hitam, kuning, sawo matang dan putih pada hal kamu semua bersumber dari asal-usul yang sama. “Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.
Tanda-tanda kekuasaan Allah dapat diketahui dengan mengamati langit dan bumi atau alam raya ini. Peredaran benda-benda langit diangkasa raya tidak ada yang terjadi tabrakan. Melalui salah satu benda langit yang paling berperan dalam kehidupan makhluk di bumi yaitu matahari lalu kemudian adanya perubahan dari malam ke siang serta perubahannya musim. Dibumipun sekian banyak terdapat tanda-tanda keesaan Allah, disini yang disinggung adalah yang terdapat didalam diri manusia yaitu perbedaan lidah, ini terjadi karena perbedaan tempat tinggal dibumi, demikian juga perbedaan warna kulit, antara lain dipengaruhi oleh matahari, sehingga penekanan pada ayat diatas adalah menunjukkan tentang perbedaan yang membuktikan kekuasaan-Nya. Alsinatikum jama’ dari lisan yang berarti lidah, ia juga digunakan dalam arti bahasa atau suara, dalam penelitian terakhir menunjukkan bahwa tidak seorangpun yang suaranya sama dengan orang lain. Ayat diatas ditutup dengan li al-a’lamin / bagi orang-orang yang mengetahui, yaitu mengetahui dalam pengetahuannya. Perbedaan bahasa, warna kulit, hal ini cukup jelas terlihat dan disadari atau diketahui oleh setiap orang.[3]
Ditafsir Al-Azhar mengenai penjelasan ayat diatas, maka yang diper”kamu” oleh tuhan di ayat 22 ini dengan ucapan “Dia ciptakan untuk kamu” dari dirimu sendiri akan istri-istri ialah seruan kepada seluruh manusia, bahwa manusia itu sebagai manusia, sebagai cucu Adam pada hakikatnya adalah satu. Ayat ini juga memperingatkan akan tanda-tanda kebesaran Allah atau bukti tentang adanya tuhan, ialah untuk menyadarkan manusia bahwa ia mempunyai akal dan fikiran. Akal dan fikiran itulah yang hendaknya dipergunakan.[4]
Dalam penjelasan ayat diatas, penulis belum menemukan asbabun nuzul ayat.
3.      Surat Al-Hujurat ayat 11


يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَءَامَنُوا۟لَايَسْخَرْقَوْمٌمِّنقَوْمٍعَسَىٰٓأَنيَكُونُوا۟خَيْرًامِّنْهُمْوَلَانِسَآءٌمِّننِّسَآءٍعَسَىٰٓأَنيَكُنَّخَيْرًامِّنْهُنَّوَلَاتَلْمِزُوٓأَنفُسَكُمْوَلَاتَنَابَزُوا۟بِٱلْأَلْقَٰبِبِئْسَٱلِٱسْمُٱلْفُسُوقُبَعْدَٱلْإِيمَٰنِوَمَنلَّمْيَتُبْفَأُو۟لَٰٓئِكَهُمُٱلظَّٰلِمُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Tafsir mufradat :
قَوْمٌ : suatu kaum
لَايَسْخَرْ : janganlah mengolok-olok
خَيْرًامِّنْهُمْ : lebih baik dari mereka
وَلَاتَلْمِزُوٓ : Janganlah kamu saling mencela
وَلَاتَنَابَزُوا : janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk
ٱلْفُسُوقُ : yang buruk atau fasik
Tafsir ayat :
Kata yaskhar/memperolok-olokkan yaitu menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan maupun tingkah laku. Kata qaum bisa digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia. Bahasa menggunkannya pertamakali untuk laki-laki saja karena ayat diatas menyebut pula secara khusus wanita dan dipertegas dengan ayat tersebut kata nisa’/perempuan karena ejekan dan “merumpi” lebih banyak terjadi dikalangan perempuan dibandingkan dikalangan laki-laki. Kata talmizu, pada kata ini terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama dalam memaknainya. Ibn Asyur memahaminya dalam arti ejekan yang langusung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan, atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Dan termasuk bentuk penganiayaan.
Kata ‘Asa an yakunu khairan minhum/boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari  mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan adanya tolak ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolak ukur manusia secara umum.
Kata tanabazu yakni gelar buruk, larangan ini menggunakan bentuk kata yang mengandung makna timbal balik.kata al-ism yang dimaksud oleh ayat ini bukan dalam arti nama tetapi sebutan. Dengan demikian ayat diatas bagaikan menyatakan : “seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang  mengandung makna kefasikan setelah ia disifati dengan sifat keimanan.” Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan.
Asbabun nuzul :
Ejekan yang dilakukan oleh kelompok bani Tamim terhadap Bilal, Shuhaib, dan Ammar yang merupakan orang-orang yang tidakpunya. Adalagi yang menyatakan bahwa ia turun berkenaan dengan ejekan yang dilontarkan oleh Tsabit bin Qais, seorang sahabat Nabi yang tuli, Tsabit melangkahi sekian orang untuk dapat duduk didekat Rasul agar dapat mendengar wejangan beliau. Salah seorang menegurnya, tetapi Tsabit marah sambil memakinya dengan menyatakan bahwa dia, yakni sipenegur, adalah anak si Anu( seorang wanita yang pada masa jahiliyah dikenal memiliki aib). Orang yang diejek ini merasa dipermalukan maka turunlah ayat ini.[5]
Didalam tafsiran lainnya, yaitu dalam kitab tafsir Al-Aisar, ayat diatas menjelaskan termasuk faktor-faktor pertikaian dan peperangan adalah seorang mukmin yang mengolok-olok saudaranya dan menghinanya karena keadaannya yang lemah atau bajunya yang jelek atau penghasilannya yang sedikit, maka Allah Ta’ala dalam ayat ini mengharamkan atas setiap muslim untuk tidak mneghina saudaranya yang muslim dan mengejeknya dengan memberi isyarat bahwa orang yang direndahkan, dihina dan diejek pada umumnya lebih baik di mata Allah dari pada orang yang mengejeknya. Dan yang dijadikan standar kebiakan atau keburukan adalah apa yang ada disisi Allah bukan apa yang ada pada manusia. Kemudian Allah juga mengharamkan celaan dan panggilan dengan gelar yang buruk, dalam celaan bentuk apapun karena kalian bagaikan satu tubuh,maka apabila saling mencela saudaranya yang muslim seakan-akan ia mencela dirinya sendiri. Lalu janganlah seorang muslim memanggil saudaranya yang muslim dengan gelar yang tidak disukainya, karena hal itu akan menimbulkan permusuhan dan peperangan.
Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk setelah iman, artinya seburuk-buruknya sifat adalah seorang muslim yang diberi gelar kefasikan setelah ia menjadi orang yang beriman, adil dan sempurna dalam akhlak dan adabnya. Oleh karena itu tidak halal bagi seorang mukmin untuk mengatakan kepada saudaranya, dengan sebutan “hai pelacur..dll” karena seburuk-buruk nama adalah nama kefasikan yang diberikan kepad orang muslim dengan gelar-gelar yang buruk setelah ia menjadi orang yang fasik, dan seburuk-buruknya nama baginya adalah ia menjadi orang fasik setelah keimanannya kepada Allah dan pertemuan dengan-Nya dan beriman kepada Rasul-Nya dan kepada apa yang dibawa olehnya. Dan barang siapa yang tidak bertaubat dari menghina orang-orang Islam dan mencela mereka serta memberikan gelar-gelar yang buruk kepada mereka “maka mereka itulah orang-orang yang zalim” yang akan mendapat murka Allah dan siksa-Nya.[6]
4.      Surat Al-Hujurat ayat 13
يَٰٓأَيُّهَاٱلنَّاسُإِنَّاخَلَقْنَٰكُممِّنذَكَرٍوَأُنثَىٰوَجَعَلْنَٰكُمْشُعُوبًاوَقَبَآئِلَلِتَعَارَفُوٓا۟إِنَّأَكْرَمَكُمْعِندَٱللَّهِأَتْقَىٰكُمْإِنَّٱللَّهَعَلِيمٌخَبِيرٌ
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Tafsir Mufradat :
شُعُوبًا : berbangsa-bangsa
وَقَبَآئِلَ : dan bersuku-suku
لِتَعَارَفُوٓا۟ : agar kamu saling mengenal
Tafsir ayat :
Bahwa warna kulit, ras, bahasa, negara, dan lainnya tidak ada dalam pertimbangan Allah. Disana hanya ada satu timbangan untuk menguji seluruh nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Yaitu, “sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu.” Orang paling mulia yang hakiki adalah orang mulia menurut pandangan Allah. Dialah yang akan menimbang berdasarkan pengetahuan dan berita dengan aneka nilai dan timbangan. “sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha teliti.”

Prinsip dari fondasi masyarakat Islam yaitu masyarakat yang manusiawi dan mendunia, yang senantiasa dibayangkan aktualisasinya dalam suatu warna. Tetapi kemuidian ia memudar sebab tidak menempuh satu-satunya jalan yang mengantarkan ke jalan lurus, yaitu jalan menuju Allah. Juga karena masyarakat itu tidak berdiri dibawah satu-satunya panji yang mempersatukan yaitu panji Allah.[7]
Asbabun nuzul :
Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah satu seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri mereka dengannya merupakan salah seorang bekas budak mereka. Sikap keliru ini dikecam oleh Al-Qur’an dengan menegaskan bahwa kemuliaan disisi Allah bukan karena keturunan atau garis kebangsawanan tetapi karena ketakwaannya.[8]






[1] M. Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume 6” (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 228-237
[2] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar surat : Ar-Ra’d-Al-Hajj sistematis dan mudah dalam pembahasa, jilid 6” (Jakarta Timur : Darussunnah Press, 2009) hlm 41-43
[3] M. Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume 10” (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 189-191
[4] Prof.Dr Hamka “tafsir al-azhar jilid 7”(Singapura : Pustaka Nasional PTE LTD,2007) hlm 5499
[5] M. Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume 12” (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 606-608
[6] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi “Tafsir Al-Qur’an Al-Aisar surat : Saba’-Al-Hujurat sistematis dan mudah dalam pembahasa, jilid 6” (Jakarta Timur : Darussunnah Press, 2009) hlm 914-916
[7]Sayyid Quthb “Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah naungan Al-Qur’an surat Ash-Shaafaat 102-Al-Hujurat jilid 10” (Jakarta : Gema Insani, 2004) hlm 421-423
[8]M. Quraish Shihab “tafsir al-Misbah pesan,kesan dan keserasian Al-Qur’an volume 12” (Jakarta : Lentera Hati, 2002) hlm 616

Tidak ada komentar:

Posting Komentar